Sejarah Daerah Sulawesi Selatan & Tokoh-Tokoh
Kabupaten
Takalar yang hari jadinya pada tanggal 10 Pebruari 1960, proses
pembentukannya melalui tahapan perjuangan yang panjang. Sebelumnya,
Takalar sebagai Onder afdeling yang tergabung dalam daerah Swatantra
MAKASSAR bersama-sama dengan Onder afdeling Makassar, Gowa, Maros,
Pangkajene Kepulauan dan Jeneponto.
Onder
afdeling Takalar, membawahi beberapa district (adat gemen chap) yaitu:
District Polombangkeng, District Galesong, District Topejawa, District
Takalar, District Laikang, District Sanrobone. Setiap District
diperintah oleh seorang Kepala Pemerintahan yang bergelar Karaeng,
kecuali District Topejawa diperintah oleh Kepala Pemerintahan yang
bergelar Lo’mo.
Upaya
memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Takalar, dilakukan bersama
antara Pemerintah, Politisi dan Tokoh-tokoh masyarakat Takalar. Melalui
kesepakatan antara ketiga komponen ini, disepakati 2 (dua)
pendekatan/cara yang ditempuh untuk mencapai cita-cita perjuangan
terbentuknya Kabupaten Takalar, yaitu:
- Melalui Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Swatantra Makassar. Perjuangan melalui Legislatif ini, dipercayakan sepenuhnya kepada 4 (empat) orang anggota DPRD utusan Takalar, masing-masing H. Dewakang Dg. Tiro, Daradda Dg. Ngambe, Abu Dg. Mattola dan Abd. Mannan Dg. Liwang.
- Melalui pengiriman delegasi dari unsur pemerintah bersama tokoh-tokoh masyarakat. Mereka menghadap Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan di Makassar menyampaikan aspirasi, agar harapan terbentuknya Kabupaten Takalar segera terwujud. Mereka yang menghadap Gubernur Sulawesi adalah Bapak H. Makkaraeng Dg. Manjarungi, Bostan Dg. Mamajja, H. Mappa Dg. Temba, H. Achmad Dahlan Dg. Sibali, Nurung Dg. Tombong, Sirajuddin Dg. Bundu dan beberapa lagi tokoh masyarakat lainnya.
Upaya
ini dilakukan tidak hanya sekali jalan. Titik terang sebagai
tanda-tanda keberhasilan dari perjuangan tersebut sudah mulai nampak,
namun belum mencapai hasil yang maksimal yaitu dengan keluarnya
Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1957 (LN No. 2 Tahun 1957) maka
terbentuklah Kabupaten Jeneponto-Takalar dengan Ibukotanya Jeneponto.
Sebagai Bupati Kepala Daerah yang pertama adalah Bapak H. Mannyingarri Dg. Sarrang dan Bapak Abd. Mannan Dg. Liwang sebagai ketua DPRD.
Para
politisi dan tokoh masyarakat tetap berjuang, berupaya dengan sekuat
tenaga, agar Kabupaten Jeneponto-Takalar segera dijadikan menjadi 2
(dua) Kabupaten masing-masing berdiri sendiri yaitu: Kabupaten
Jeneponto dan Kabupaten Takalar.
Perjuangan
panjang masyarakat Kabupaten Takalar, berhasil mencapai puncaknya,
setelah keluarnya Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 1959 (LN Nomor 74
Tahun 1959), tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi
Selatan dimana Kabupaten Takalar termasuk didalamnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 itu, maka sejak tanggal 10 Pebruari 1960, TERBENTUKLAH KABUPATEN TAKALAR, dengan Bupati Kepala Daerah (Pertama) adalah Bapak H. DONGGENG DG. NGASA seorang Pamongpraja Senior.
Selanjutnya Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Takalar Nomor 13 Tahun 1960 menetapkan PATTALLASSANG sebagai IBUKOTA KABUPATEN TAKALAR.
Dengan
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Takalar Nomor 7 Tahun 1990
menetapkan Tanggal 10 Pebruari 1960 sebagai Hari Jadi Kabupaten
Takalar.
Berdasarkan
struktur pemerintahan pada waktu itu, Bupati Kepala Daerah, dalam
melaksanakan tugas pemerintahan, dibantu oleh 4 (empat) orang Badan
Pemerintahan Harian (BPH), dengan personalianya yaitu:
- BPH Tehnik & Keamanan : H. Mappa Dg. Temba
- BPH Keuangan : Bangsawan Dg. Lira
- BPH Pemerintahan : H. Makkaraeng Dg. Manjarungi
- BPH Ekonomi : Bostan Dg. Mamajja
Setelah
terbentuknya Kabupaten Takalar, maka Districk Polombangkeng dijadikan 2
(dua) Kecamatan yaitu Kecamatan Polombangkeng Selatan dan
Polombangkeng Utara, Districk Galesong dijadikan 2 (dua) Kecamatan
yaitu Kecamatan Galesong Selatan dan Kecamatan Galesong Utara, Districk
Topejawa, Districk Takalar, Districk Laikang dan Districk Sanrobone
menjadi Kecamatan TOTALLASA (Singkatan dari Topejawa, Takalar, Laikang
dan Sanrobone) yang
selanjutnya berubah menjadi Kecamatan Mangarabombang dan Kecamatan
Mappakasunggu. Perkembangan selanjutnya berdasarkan Peraturan Daerah
Nomor 7 Tahun 2001 terbentuk lagi sebuah Kecamatan yaitu Kecamatan
Pattallassang (Kecamatan Ibukota) dan terakhir dengan Perda Nomor 3
Tahun 2007 tanggal 27 April 2007 dan Perda Nomor 5 Tahun 2007 tanggal
27 April 2007, dua kecamatan baru terbentuk lagi yaitu Kecamatan
Sanrobone (Pemekaran dari Kecamatan Mappakasunggu) dan Kecamatan
Galesong (Pemekaran dari Kecamatan Galesong Selatan dan Kecamatan
Galesong Utara). Sehingga dengan demikian sampai sekarang Kabupaten
Takalar terdiri dari 9 (sembilan) buah Kecamatan, sebagaimana telah
disebutkan terdahulu. Kesembilan kecamatan ini membawahi sejumlah 82
Desa/Kelurahan, dengan jumlah penduduk + 252,275 jiwa.
Sejak
terbentuknya Kabupaten Takalar hingga saat ini, pejabat Bupati Kepala
Daerah silih berganti, demikian pula Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, masing-masing yaitu:
BUPATI KEPALA DAERAH :
- Donggeng Dg. Ngasa, masa Jabatan 1960-1964.
- Makkatang Dg. Sibali, masa Jabatan 1965-1967.
- M. Suaib Pasang, masa Jabatan 1967-1978.
- Ibrahim Tulle, masa Jabatan 1968-1983.
- Batong Aminullah, masa Jabatan 1983-1987.
- Drs.H. Tadjuddin Nur, masa Jabatan 1987-1992.
- Drs.H. Syahrul Saharuddin, MS, masa Jabatan 1992-1997.
- Drs.H. Zainal Abidin, M.Si, masa Jabatan 1997-2002.
- Drs.H. Ibrahim Rewa,MM, masa Jabatan 2002-2007.
- DR.H.Ibrahim Rewa,MM, masa Jabatan 2007-2012.
WAKIL BUPATI :
- Drs.H. M. Said Pammusu, M.Si, masa Jabatan 1999-2002.
- Drs. A. Makmur A. Sadda, MM, masa Jabatan 2002-2007.
- Drs.A. Makmur A. Sadda, MM, masa Jabatan 2007-2012.
KETUA DPRD :
- H. A. Dahlang Dg. Sibali, masa Jabatan 1966-1970.
- Ashar Mangung, masa Jabatan 1970-1971.
- H. Halollang Adam, BA masa Jabatan 1971-1977.
- Hasbuddin Muntu, masa Jabatan 1977-1982.
- H. ABD. Wahab Dg. Ngerang, masa Jabatan 1982-1987.
- H. Semming Bennu, masa Jabatan 1987-1992.
- Drs. Sirajuddin Lopo, masa Jabatan 1992-1997.
- Tjardiman, masa Jabatan 1997-1999.
- Drs. H. Ibrahim Rewa, MM, masa Jabatan 1999-2002.
- Drs. Napsa Baso, masa Jabatan 2003-2004 dan 2004-sekarang
Demikianlah, sejarah singkat terbentuknya Kabupaten Takalar dan perkembangannya sampai dengan Peringatan HUT RI ke-63 ini.
*Sejarah Kota Makassar
Awal Kota dan bandar makassar berada di muara sungai Tallo dengan pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV. Sumber-sumber Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya berada dibawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene, akan tetapi pada pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan Siang, yang bahkan menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Akibat semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo, mengakibatkan pendangkalan sungai Tallo, sehingga bandarnya dipindahkan ke muara sungai Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan kekuasaan kawasan istana oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun pertahanan benteng Somba Opu, yang untuk selanjutnya seratus tahun kemudian menjadi wilayah inti Kota Makassar. | |||||||||
| |||||||||
Dalam hanya seabad saja, Makassar menjadi salah satu kota niaga terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang (dan dengan ini termasuk ke-20 kota terbesar dunia Pada zaman itu jumlah penduduk Amsterdam, kota terbesar musuh utamanya, Belanda, baru mencapai sekitar 60.000 orang) yang bersifat kosmopolitan dan multikultural. Perkembangan bandar Makasar yang demikian pesat itu, berkat hubungannya dengan perubahan¬-perubahan pada tatanan perdagangan internasional masa itu. Pusat utama jaringan perdagangan di Malaka, ditaklukkan oleh Portugal pada tahun 1511, demikian di Jawa Utara semakin berkurang mengikuti kekalahan armada lautnya di tangan Portugal dan pengkotak-kotakan dengan kerajaan Mataram. Bahkan ketika Malaka diambil-alih oleh Kompeni Dagang Belanda VOC pada tahun 1641, sekian banyak pedagang Portugis ikut berpindah ke Makassar. | |||||||||
| |||||||||
| |||||||||
| |||||||||
| |||||||||
|
* Syech Yusuf
Syahdan, di Negeri Tallo, pada 13 Juli 1626 M atau bertepatan 8 Syawal 1036 H, muncul dari langit cahaya terang benderang menyinari negeri itu hingga Negeri Gowa. Maka, gemparlah masyarakat Gowa melihat cahaya itu. Mereka pun berangkat ke Tallo menceritakan serta mencari tahu fenomena luar biasa yang terlihat di Gowa.
Namun orang Tallo tak tahu apa-apa. Yang mereka tahu, di negerinya telah lahir seorang anak bernama Yusuf. Kisah yang tertoreh dalam lontara Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa (RTSG) itu menggambarkan kelahiran seorang ulama besar yang juga termasyhur sebagai sufi dan pejuang bernama Asy-Syaikh al-haj Yusuf Abu al-Mahasin Hidayatullah Taj Al-Khalwati al-Makasari atau Syekh Yusuf.
Syekh Yusuf, menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang lahir dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dinamika. Saat itu, peperangan tengah berkecamuk di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dan terjadi persaingan melawan kompeni Belanda yang tengah sibuk berebut jalur perdagangan. Suasana keagamaan juga berada dalam masa transisi, sehingga kepercayaan lama dan Islam masih bercampur-baur.
Asal-usul ulama besar itu memang tak dapat dipastikan kebenarannya, karena bersumber dari cerita dan legenda. Menurut lontarak RTSG versi Gowa, ibu Syekh Yusuf bernama Aminah puteri Gallarang Moncongloe dan ayahnya seorang tua yang tak diketahui asal kedatangannya. Orang tua itu dikenal sebagai orang suci yang konon mempunyai banyak keramat. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Jilid IV meyebutkan ayah Syekh Yusuf bernama Abdullah.
Setelah 40 hari kelahiran Yusuf, Aminah dipersunting Raja Gowa setelah diceraikan suaminya. Yusuf dan sang ibu pun berpindah ke istana. Nabilah Lubis dalam bukunya Syekh Yusuf Al-Taj Al-Makari:Menyingkap Intisari Segala Rahasia menyebutkan, `'Yusuf bukanlah seorang bangsawan. Dia diangkat oleh Sultan Alaudin dan dibesarkan di istana Sultan, namun tak pernah mendapat gelar kebangsawanan.''
Yusuf kecil dibesarkan dalam kehidupan Islami. Selepas mengkhatamkan Alquran dari gurunya Daeng ri Tasammang, ia menimba ilmu sharaf, nahwu, mantik dan beragam kitab dari Syed Ba' Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala. Dalam waktu singkat, Yusuf belia sudah menguasai dan tamat mempelajari kitab-kitab fikih dan tauhid.
Sejak kecil, ilmu tasawuf begitu membetot perhatiannya. Sebagain besar perhatiannya tercurah pada ilmu yang kelak mengantarnya sebagai seorang guru besar. Dianggap telah cakap, pada usia 15 tahun Yusuf disarankan untuk menimba ilmu di negeri lain. Yusuf muda pun berguru pada Syekh Jalaludin al-Aidit pun di Cikoang, selatan Sulawesi Selatan.
Rasa ingin tahunya yang begitu besar tentang ilmu-ilmu keislaman mengantrakannya ke luar negeri. Tepat pada 22 September 1644, saat Kerajaan Gowa dipimpin Sultan Malikussaid, di usia 18 tahun, ia meninggalkan tanah kelahirannya menuju Makkah menumpang kapal Melayu dari Somba Opu.
Delapan hari mengarungi lautan, Yusuf kemudian singgah di Banten. Di tanah para jawara itu, Yusuf muda yang supel berkenalan dengan ulama, ahli agama dan pejabat. Yusuf bersahabat dengan Pengeran Surya, putera mahkota Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir. Kelak, Pangeran Surya menjadi, Sultan Ageng Tirtayasa.
Ia begitu tertarik dengan Syekh Nuruddin ar-Raniri, seorang ulama kondang yang bermukim di Aceh. Syekh Yusuf menemui Syekh Nuruddin dan berguru sampai mendapat ijazah tarekat Qadiriyah. `'Tarket Qadiriyah saya terima dari Syekh kami yang alim, arif sempurnadan menyatukan antara ilmu Syariat dengan ilmu Hakikat, penghulu kami Syekh Nuruddin Hasanji bin Muhammad Hamid Al-Quraisyi ar-Raniri,'' ungkapnya dalam risalah Safinat an-Naja.
Lima tahun sudah Yusuf berkelana di Banten dan Aceh. Timur Tengah, kini menjadi tujuan berikutnya. Bertolak dari Pelabuhan Banten, Syekh Yusuf akhirnya sampai ke Timur Tengah. Yaman adalah negeri pertama yang dikunjunginya. Ia berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi sampai mendapat ijazah tarket Naqsyabandi.
Di negeri itu pula, Syekh Yusuf mendapat ijazah tarekat al-Baalawiyah dari Syekh Maulana Sayed Ali. Setelah menunaikan ibadah haji di Makkah, ia kemudian menemui Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani di Madinah hingga mendapatkan ijazah tarekat Syattariyah. Empat ijazah yang telah digengamnya masih belum dirasa cukup. ia pun mengunjungi Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi. Ijazah tarekat Khawatiyah pun kembali digenggamnya dan mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah.
Di usia 38 tahun, Syekh Yusuf akhirnya kembali ke Gowa dan telah menjadi seorang guru yang besar. Menurut sumber lontara, sesampainya di kampung halaman Syekh Yusuf begitu kecewa, Gowa telah berubah. Nabilah Lubis dalam bukunya mengutip sumber sejarah yang bersifat separuh dongeng menuturkan pada masa itu syariat Islam seolah-olah telah dikesampingkan, maksiat dan kemungkaran merajalela.
Setelah tak berhasil meyakinkan Sultan untuk melaksanakan kembali Syariat Islam, Syekh Yusuf meninggalkan Gowa menuju Banten. Pada 1664, Banten pun telah berubah. Sahabatnya, telah menjadi Sultan bergelar Ageng Tirtayasa. Ia kini didaulat sebagai ulama tasawuf dan syekh tarekat. Dalam sekejap, namanya sudah termasyhur, karena keluhuran ilmunya.
Sebagai sufi, Syekh Yusuf juga dikenal memiliki kepribadian yang menarik. Ia dipercaya mendidik anak-anak Sultan di bidang agama Islam dan membuka pengajian bagi penduduk. Sejumlah karya mengenai ajaran tasawuf ditulisnya di Banten.
Banten pun berubah ketika Pangeran Gusti - putera mahkota Banten yang kemudian mendaulat menjadi Sultan Haji -- tiba dari Makkah. Kompeni Belanda mulai menghasut Pangeran Gusti untuk memberontak pada sang ayah. Maret 1682, pertempuran antara kompeni Belanda yang mendukung Sultan Haji dan Sultan Ageng pun meletus. Syekh Yusuf dan Sultan Ageng serta Pangeran Purabaya bahu membahu melawan kompeni.
Setahun kemudian, Sultan Ageng ditangkap kompeni setelah ditipu anaknya. Perjuangan belum habis. Syekh Yusuf memimpin 5.000 pasukan termasuk 1.000 orang dari Makassar bersama Pangeran Purabaya mengobarkan perang gerilya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat Tasikmalaya. Pada 1683, Syekh Yusuf ditangkap Belanda di Sukapura.
Awalnya, ia ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta). Pengaruhnya yang begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Ia dan keluarga kemudian diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Di tempat baru itu, Syekh Yusuf memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam.
Di Srilanka, ia bertemu dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.
Syekh Yusuf pun leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan muridnya di negeri Srilanka. Kabar dari dan untuk keluarganya, ia terima dan sampaikan melalui jamaah haji singgah di Srilanka. Lewat jalur itu, ajarannya sampai kepada muridnya. Belanda kembali kebakaran jenggot dan menganggap Syekh Yusuf masih mejadi ancaman. Pengaruhnya masih begitu besar, meski berada jauh dari tanah kelahiran.
Guna menjauhkan pengaruh Syekh Yusuf di Tanah Airnya, Belanda membuangnya ke Afrika Selatan. Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet yang kemudian dikenal dengan Madagaskar.
Ulama Besar dengan Enam Makam
Berada di tanah buangan tak meyurutkan semangat Syekh Yusuf untuk berdakwah. Terlebih, waktu itu Islam di Afrika Selatan (Afsel) tengah berkembang. Adalah Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru yang lahir di Tidore pelopor penyebaran Islam di negara itu.
Dalam waktu singkat, Syekh Yusuf pun telah mengumpulkan banyak pengikut. Awalnya, ia memantapkan pengajaran agama bagi pengikutnya. Kemudian, syiar Islam diserukannya kepada orang-orang buangan yang diasingkan ke Kaap. Mereka kemudian bersatu membentuk komunitas Muslim. Hingga kini, di Cape Town terdapat 600 ribu warga yang memeluk agama Islam.
Meski Syekh Yusuf telah wafat pada 23 Mei 1699 di usianya yang ke-73 tahun, pengaruh Syekh Yusuf di Afsel hingga kini masih sangat besar. Mantan Presiden Afsel, Nelson Mandela menyebut Syekh Yusuf sebagai 'salah seorang putera Afrika terbaik'. Bahkan, Presiden Afsel, Thabo Mbeki berencana menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi Syekh Yusuf. Pemerintah Indonesia telah menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada 1995.
Guna mengenang Sang Guru, bangunan bekas tempat tinggalnya di Afsel dijadikan bangunan peringatan yang diberi nama 'Karamat Syaikh Yusuf'. Meski Syekh Yusuf tak dimakamkan di Afsel, hingga kini bangunan peringatan itu masih tetap dikunjungi warga Afsel yang mengagumi dan menghormati Tuan Guru.
Jenazah Syekh Yusuf dimakamkan dibawa ke Gowa oleh Belanda setelah diminta Sultan Abdul Jalil. April 1705, kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di di Lakiung keesokan harinya. `'Makam Syekh Yusuf yang sebenarnya berada di Lakiung, Sulawesi Selatan,'' ujar sejarawan Prof Anhar Gonggong, kepada Republika, saat berziarah ke makam Syekh Yusuf beberapa waktu lalu.
Pengaruhnya yang begitu besar, membuat masyarakat di wilayah yang pernah disinggahi Syekh Yusuf meyakini ulama besar itu dimakamkan di tempat mereka. Selain di Makassar, pemakaman Syekh Yusuf juga dapat diyakini berada di Banten; Pelambang, Sumatera Selatan; Srilanka dan di Talango, Madura. Makam-makam itu, hingga kini masih tetap didatangi para peziarah. Meski telah berpulang empat abad lalu, kemasyhuran dan keluhuran akhlak serta ilmu Syekh Yusuf hingga masih tetap dikenang.
Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf
Berbagai tarekat telah dikuasai Syekh Yusuf selama berguru di Timur Tengah. Menurut Martin Van Bruinessen,sepulang ke Nusantara, Syekh Yusuf justru mengajarkan tarekat Khalwatiyah, bukan tarekat Qadariyah. Tarekat itu dipelajarinya dari Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi di Damaskus.
Dari sang guru, Syekh Yusuf mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah. Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata 'khalwat', yang berarti menyendiri untuk merenung. Konon, nama itu dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.
Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Tarekat Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria.
Di Indonesia, Tarekat Khalwatiyah disebarkan Syekh Yusuf. Penyebaran tarekat Khalwatiyah Yusuf di Sulawesi Selatan mulai dikenal sejak adanya peran yang dimainkan Syekh Abdul Fathi Abdul Bashir al-Dhahir al-Khalwati yang lazim disebut Tuang Rappang I Wodi. Tuang Rappang berguru tarekat itu dari Syekh Yusuf, sejak di Makkah dan banten.
Syekh Yusuf menganugerahkan ijazah dan mengangkatnya sebagai khalifah untuk menyebarkan tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan. Awalnya, penyebaran tarekat Khalwatiyah Yusuf berlangsung di kalangan bangsawan, dan secara berangsur-angsur diterima pula rakyat kebanyakan.
Kelompok tarekat itu kemudian tersebar di berbagai kampung dan secara bersama mereka melakukan ibadah zikir khaafi (suara kecil) di rumah dan tempat ibadah. Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma' As-Sab'ah (tujuh nama), yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa. Hingga kini, tarekat Khalwatiyah Yusuf itu masih tetap eksis di Sulawesi Selatan.
*Sultan Hasanuddin