Terminologi Suku Daya dalam Upaya Perlindungan Alam
Masyarakat suku Daya di Kalimantan
Tengah, secara turun temurun dalam kehidupannya telah memraktekkan upaya
konservasi sumberdaya alam dan perlindungan terhadap keanekaragaman
sumberdaya hayatinya. Menurut Dohong (2010), upaya tersebut bahkan bisa
dikatakan lahir secara bersamaan dengan kehadiran peradaban suku Daya
itu sendiri.
Sikap dan perilaku yang arif dan
bertanggung jawab dalam praktek pengelolaan sumberdaya hutan, pada
gilirannya melahirkan citra manusia Daya yang bercirikan sosio-religio-
magis. Dan kita dapat menelusuri konsepsi konservasi dan perlindungan
alam Suku Daya melalui penggunaan berbagai terminologi seperti Tajahan,
Kaleka, Sapan Pahewan, dan Pukung Himba.
Berikut ini adalah rincian dari
terminologi di atas; Tajahan ialah suatu lokasi yang dikeramatkan oleh
Suku Daya khususnya yang menganut kepercayaan Kaharingan. Di lokasi
tajahan ini didirikan sebuah rumah-rumahan berukuran kecil untuk menaruh
sesajen sebagai tanda persembahan kepada roh-roh halus yang bersemayam
di tempat itu.
Rumah-rumahan ini biasanya diisikan
beberapa patung kecil yang merupakan simbol (replika) dari anggota
keluarga yang sudah meninggal. Mereka meyakini roh orang meninggal dunia
berdiam dalam patung-patung kecil tersebut, sehingga tidak akan
mengganggu anggota keluarga yang masih hidup.
Lokasi tajahan biasanya pada kawasan
hutan yang masih lebat dan terkesan angker. Pada lokasi tersebut
dilarang melakukan aktivitas manusia seperti menebang hutan, berburu dan
lain-lainnya. Konsep tajahan sangat relevan dengan kegiatan konservasi
karena di dalamnya terdapat aspek perlindungan dan pelestarian
keanekaragaman hayati.
Berikutnya adalah Kaleka, dari perspektif
konservasi ekologis, kaleka dapat dipandang sebagai gudang plasma
nutfah (genetic pool). Lokasi tersebut umumnya dipelihara dan dilindungi
oleh pihak keluarga secara turun temurun sebagai harta waris yang
peruntukan dan pemanfaatannya (misal mengambil buah-buahan) untuk
kepentingan bersama (common property). Kaleka tiada lain adalah ebuah
daerah peninggalan nenek moyang Suku Daya jaman dahulu kala. Daerah ini
biasanya ditandai dengan adanya bekas tiang-tiang rumah betang/rumah
panggung, pohon-pohon besar dan berumur tua seperti durian, langsat dan
sebagainya.
Sementara Sepan-pahewan merupakan tempat
sumber mata air asin tempat binatang-binatang seperti rusa, kijang,
kancil dan lain-lain meminum air asin sebagai sumber mineral. Dalam
bahasa Daya Kenyah sepan-pahewan disebut dengan istilah Sungan. Lokasi
sepan-pahewan merupakan tempat perburuan Suku Daya untuk memenuhi
kebutuhan hewani. Tempat perburuan karenanya, lokasi tersebut umumnya
selalu dipelihara dan dilindungi. Perlindungan lokasi sepan-pahewan
sangat relevan dengan konsepsi perlindungan satwa pada konservasi
modern.
Dan yang terakhir adalah Pukung himba,
bagian dari kawasan hutan rimba yang dicadangkan untuk tidak
ditebang/dieksploitasi. Ciri-ciri daerah yang dijadikan pukung himba
umumnya wilayah yang berhutan lebat dan berumur tua dengan diameter
vegetasi kayu rata-rata berukuran relatif sangat besar, belum banyak
terjamah oleh kegiatan manusia dan banyak dihuni oleh satwa liar. Hutan
yang berumur tua dengan ukuran kayu besar dan terkesan sangat angker
dipercayai sebagai tempat yang disenangi roh-roh (gana) untuk tempat
bermukim. Keberadaan dan konsep pukung himba dari perspektif konservasi
merupakan usaha pelestarian kawasan hutan beserta dengan keanekaragaman
hayati di dalamnya.
Penetapan lokasi pukun rimba disadari
penting oleh para peladang Suku Daya di Kalimantan Tengah yang memahami
betul bahwa di dalam kegiatan membuka ladang, maka roh-roh penunggu
(gana) yang bermukim pada lokasi itu harus dipindahkan ke lokasi yang
baru yang disebut pukung himba.
Dari penjabaran di atas, secara sekilas
terminologi tersebut sangat sarat dengan kepercaya yang bersifat mistis,
dan terkesan tidak rasional. Namun jika kita resapi secara mendalam,
betapa masyarakat Suku Daya telah memberikan kita pelajaran tentang
pentingnya perlindungan flora dan fauna di lingkungan kita demi menjaga
keseimbangan dan pelestarian alam guna kelangsungan hidup anak-cucu kita
nanti.
Sumber Rujukan: http://www.wacananusantara.org
Marko Mahin. 2009. Kaharingan: Dinamika
Agama Dayak di Kalimantan Tengah. Desertasi. Depok: Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Departemen Antropologi Prodi Pascasarjana UI
Wahyu, 2007. Makna Kearifan Lokal dalam
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Kalimantan Selatan (dalam
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif
Budaya dan Kearifan Lokal). Universitas Lambung Mangkurat Press.
Banjarmasin.
Dohong, Alue. 2009. Kearifan Lokal Suku Dayak dalam Perlindungan Flora dan Fauna Endemik.
Alamsyah, 2010. Larangan pembakaran Hutan dan Lahan di Kalteng.
https://wacananusantara.wordpress.com/2015/07/18/terminologi-suku-daya-dalam-upaya-perlindungan-alam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar