Minggu, 20 Desember 2015

Terminologi Suku Daya dalam Upaya Perlindungan Alam

Terminologi Suku Daya dalam Upaya Perlindungan Alam

Terminologi-Suku-Daya-dalam-Upaya-Perlindungan-Alam
Masyarakat suku Daya di Kalimantan Tengah, secara turun temurun dalam kehidupannya telah memraktekkan upaya konservasi sumberdaya alam dan perlindungan terhadap keanekaragaman sumberdaya hayatinya. Menurut Dohong (2010), upaya tersebut bahkan bisa dikatakan lahir secara bersamaan dengan kehadiran peradaban suku Daya itu sendiri.
Sikap dan perilaku yang arif dan bertanggung jawab dalam praktek pengelolaan sumberdaya hutan, pada gilirannya melahirkan citra manusia Daya yang bercirikan sosio-religio- magis. Dan kita dapat menelusuri konsepsi konservasi dan perlindungan alam Suku Daya melalui penggunaan berbagai terminologi seperti Tajahan, Kaleka, Sapan Pahewan, dan Pukung Himba.
Berikut ini adalah rincian dari terminologi di atas; Tajahan ialah suatu lokasi yang dikeramatkan oleh Suku Daya khususnya yang menganut kepercayaan Kaharingan. Di lokasi tajahan ini didirikan sebuah rumah-rumahan berukuran kecil untuk menaruh sesajen sebagai tanda persembahan kepada roh-roh halus yang bersemayam di tempat itu.
Rumah-rumahan ini biasanya diisikan beberapa patung kecil yang merupakan simbol (replika) dari anggota keluarga yang sudah meninggal. Mereka meyakini roh orang meninggal dunia berdiam dalam patung-patung kecil tersebut, sehingga tidak akan mengganggu anggota keluarga yang masih hidup.
Lokasi tajahan biasanya pada kawasan hutan yang masih lebat dan terkesan angker. Pada lokasi tersebut dilarang melakukan aktivitas manusia seperti menebang hutan, berburu dan lain-lainnya. Konsep tajahan sangat relevan dengan kegiatan konservasi karena di dalamnya terdapat aspek perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati.
Berikutnya adalah Kaleka, dari perspektif konservasi ekologis, kaleka dapat dipandang sebagai gudang plasma nutfah (genetic pool). Lokasi tersebut umumnya dipelihara dan dilindungi oleh pihak keluarga secara turun temurun sebagai harta waris yang peruntukan dan pemanfaatannya (misal mengambil buah-buahan) untuk kepentingan bersama (common property). Kaleka tiada lain adalah ebuah daerah peninggalan nenek moyang Suku Daya jaman dahulu kala. Daerah ini biasanya ditandai dengan adanya bekas tiang-tiang rumah betang/rumah panggung, pohon-pohon besar dan berumur tua seperti durian, langsat dan sebagainya.
Sementara Sepan-pahewan merupakan tempat sumber mata air asin tempat binatang-binatang seperti rusa, kijang, kancil dan lain-lain meminum air asin sebagai sumber mineral. Dalam bahasa Daya Kenyah sepan-pahewan disebut dengan istilah Sungan. Lokasi sepan-pahewan merupakan tempat perburuan Suku Daya untuk memenuhi kebutuhan hewani. Tempat perburuan karenanya, lokasi tersebut umumnya selalu dipelihara dan dilindungi. Perlindungan lokasi sepan-pahewan sangat relevan dengan konsepsi perlindungan satwa pada konservasi modern.
Dan yang terakhir adalah Pukung himba, bagian dari kawasan hutan rimba yang dicadangkan untuk tidak ditebang/dieksploitasi. Ciri-ciri daerah yang dijadikan pukung himba umumnya wilayah yang berhutan lebat dan berumur tua dengan diameter vegetasi kayu rata-rata berukuran relatif sangat besar, belum banyak terjamah oleh kegiatan manusia dan banyak dihuni oleh satwa liar. Hutan yang berumur tua dengan ukuran kayu besar dan terkesan sangat angker dipercayai sebagai tempat yang disenangi roh-roh (gana) untuk tempat bermukim. Keberadaan dan konsep pukung himba dari perspektif konservasi merupakan usaha pelestarian kawasan hutan beserta dengan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Penetapan lokasi pukun rimba disadari penting oleh para peladang Suku Daya di Kalimantan Tengah yang memahami betul bahwa di dalam kegiatan membuka ladang, maka roh-roh penunggu (gana) yang bermukim pada lokasi itu harus dipindahkan ke lokasi yang baru yang disebut pukung himba.
Dari penjabaran di atas, secara sekilas terminologi tersebut sangat sarat dengan kepercaya yang bersifat mistis, dan terkesan tidak rasional. Namun jika kita resapi secara mendalam, betapa masyarakat Suku Daya telah memberikan kita pelajaran tentang pentingnya perlindungan flora dan fauna di lingkungan kita demi menjaga keseimbangan dan pelestarian alam guna kelangsungan hidup anak-cucu kita nanti.
Marko Mahin. 2009. Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah. Desertasi. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Antropologi Prodi Pascasarjana UI
Wahyu, 2007. Makna Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Kalimantan Selatan (dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Budaya dan Kearifan Lokal). Universitas Lambung Mangkurat Press. Banjarmasin.
Dohong, Alue. 2009. Kearifan Lokal Suku Dayak dalam Perlindungan Flora dan Fauna Endemik.
Alamsyah, 2010. Larangan pembakaran Hutan dan Lahan di Kalteng.
https://wacananusantara.wordpress.com/2015/07/18/terminologi-suku-daya-dalam-upaya-perlindungan-alam/

Tidak ada komentar: