Arkeologi dan Pengenalan Prasejarah Perahu Nusantara
Abstract
The data which we found on maritime archaeology resulted several information. The benefit of the result of maritime archaeology and the history sources would be done by identifying the prehistory of archipelago boat. It was regarding the benefit of: a. tied-up technique b. the combination of tied-up and peg technique. c. peg technique and other techniques which is used in boat production as a water transportation. In addition to the grouping of the technology of boat production, it could be known an chronological aspect.
The data which we found on maritime archaeology resulted several information. The benefit of the result of maritime archaeology and the history sources would be done by identifying the prehistory of archipelago boat. It was regarding the benefit of: a. tied-up technique b. the combination of tied-up and peg technique. c. peg technique and other techniques which is used in boat production as a water transportation. In addition to the grouping of the technology of boat production, it could be known an chronological aspect.
Kata kunci: perahu, prasejarah, teknologi
I. Pengantar
Pada awalnya pengertian obyek arkeologi berkenaan dengan peninggalan kebudayaan masa silam yang tidak berupa keterangan-keterangan tertulis. Zaman dimaksud dibedakan dari zaman sejarah karena ketiadaan keterangan tertulis, dan di bagian ini orang kerap mengartikan bahwa arkeologi membatasi diri pada yang disebut zaman prasejarah. Walaupun demikian, dari zaman sejarah kuna, zaman ketika telah dikenal adanya keterangan tertulis, juga banyak peninggalan yang tidak berupa keterangan tertulis namun tetap merupakan bukti penting dari kebesaran suatu kebudayaan. Keseluruhan peninggalan itu memberikan bahan yang begitu besar bagi arkeologi. Oleh karena itu arkeologi juga berlaku sebagai pemasok bahan-bahan sejarah, dan cenderung semakin banyak bergerak di bidang sejarah kuna. Bagian dari sejarah nusantara, sejak zaman prasejarah tentunya, masih tergantung pada penelitian arkeologi. Arkeologi dipercaya dapat memberikan bahan yang tidak mencukupi untuk menulis tentang sejarah namun memadai untuk sekedar mengisi kekosongan bahan. Bukti arkeologis dapat bernilai lebih dibanding dengan kekurangan-kekurangan yang ada dalam dokumen tertulis. Oleh karena itu wajar bila hasil kegiatan arkeologis dapat menimbulkan perubahan dalam historiografi yang mendukung kemungkinan penulisan kembali sejarah nusantara ke arah yang lebih obyektif.
Pada awalnya pengertian obyek arkeologi berkenaan dengan peninggalan kebudayaan masa silam yang tidak berupa keterangan-keterangan tertulis. Zaman dimaksud dibedakan dari zaman sejarah karena ketiadaan keterangan tertulis, dan di bagian ini orang kerap mengartikan bahwa arkeologi membatasi diri pada yang disebut zaman prasejarah. Walaupun demikian, dari zaman sejarah kuna, zaman ketika telah dikenal adanya keterangan tertulis, juga banyak peninggalan yang tidak berupa keterangan tertulis namun tetap merupakan bukti penting dari kebesaran suatu kebudayaan. Keseluruhan peninggalan itu memberikan bahan yang begitu besar bagi arkeologi. Oleh karena itu arkeologi juga berlaku sebagai pemasok bahan-bahan sejarah, dan cenderung semakin banyak bergerak di bidang sejarah kuna. Bagian dari sejarah nusantara, sejak zaman prasejarah tentunya, masih tergantung pada penelitian arkeologi. Arkeologi dipercaya dapat memberikan bahan yang tidak mencukupi untuk menulis tentang sejarah namun memadai untuk sekedar mengisi kekosongan bahan. Bukti arkeologis dapat bernilai lebih dibanding dengan kekurangan-kekurangan yang ada dalam dokumen tertulis. Oleh karena itu wajar bila hasil kegiatan arkeologis dapat menimbulkan perubahan dalam historiografi yang mendukung kemungkinan penulisan kembali sejarah nusantara ke arah yang lebih obyektif.
II. Pendahuluan
Dalam sejarah Indonesia, abad ke-5 umumnya dianggap sebagai berakhirnya masa prasejarah. Itu dihubungkan dengan penemuan bukti arkeologis berupa prasasti[1] di Pulau Kalimantan yang secara paleografis diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-5. Adapun berkenaan dengan prasejarah moda transportasi air nusantara, bukti arkeologis dari Pulau Sumatera memperlihatkan hal berikut.
Dalam sejarah Indonesia, abad ke-5 umumnya dianggap sebagai berakhirnya masa prasejarah. Itu dihubungkan dengan penemuan bukti arkeologis berupa prasasti[1] di Pulau Kalimantan yang secara paleografis diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-5. Adapun berkenaan dengan prasejarah moda transportasi air nusantara, bukti arkeologis dari Pulau Sumatera memperlihatkan hal berikut.
Pengertian prasasti merujuk pada sumber
sejarah yang ditulis di atas batu atau logam dan kebanyakan dibuat atas
perintah penguasa suatu daerah. Umumnya prasasti dikeluarkan untuk
memperingati penobatan suatu daerah sebagai sima, daerah bebas pajak,
sebagai anugerah raja kepada pejabat tertentu yang telah berjasa atau
anugerah raja untuk pemeliharaan bangunan suci tertentu. Sejumlah kecil
prasasti merupakan salinan keputusan pengadilan, yang biasa dinamai
jayapattra. Adapun prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang
pada tahun 1920 (Coedes,1930; Boechari,1986), membuka pertulisannya
dengan: “….. Pada tahun Saka 605, hari kesebelas paruh terang bulan
Waisakha, Sri Baginda naik perahu (nayik di samwau ) untuk mencari
kesaktian. Hari ketujuh paruh terang bulan Yjestha, raja membebaskan
diri dari …..” dan seterusnya. Dalam kaitannya dengan topik pembicaraan
kali ini, maka prasasti Kedukan Bukit merupakan sumber informasi
menyangkut sebuah tanggal yang sesuai untuk mengawali tinjauan kita
mengenai moda transportasi air nusantara. Esensinya tidak tergantung
dari peristiwa yang dicatat, bahwa pada suatu ketika sang raja memimpin
bala tentara yang terdiri dari sekian ribu orang untuk membangun
Sriwijaya. Pentingnya tanggal, bulan, dan tahun dalam catatan itu karena
merupakan tanggal yang paling tua mengenai penyebutan perahu dalam
bahasa Melayu Kuna, sehingga menjadi tonggak yang mengawali sejarah
perahu nusantara.
Oleh karena prasasti tersebut menyatakan
tentang tahun 683 (yakni tahun Saka 605), maka sejauh ada kaitannya
dengan penyebutan perahu dalam berbagai sumber tertulis, zaman sebelum
tahun 683 merupakan prasejarah dari moda transportasi air nusantara.
Berkenaan dengan kurun waktu prasejarah itu banyak pertanyaan penting
mengenai keberadaan perahu yang tidak dapat dijawab dengan pasti.
Pertanyaan-pertanyaan dimaksud antara lain tentang proses
pembudayaannya, luas kawasan yang memanfaatkan perahu, atau pertanyaan
lain yang menuntut jawab tentang kekhususan pemakaian perahu tadi bagi
kalangan tertentu dan maksud-maksud khusus. Ini berhubungan pula dengan
pertanyaan lain yang mempersilakan pengajuan jawaban dengan mengemukakan
logika, perbandingan, dan pendugaan, yang semuanya bersifat hipotetis.
Walaupun disadari bahwa prasasti
merupakan sumber tertulis yang amat terpercaya, kita tetap perlu
memaklumi ketidaksanggupannya menyampaikan informasi utuh mengenai
perahu mengingat isi pertulisannya terbatas pada hal-hal bersifat resmi.
Oleh karena itu membicarakan perahu nusantara yang berasal dari masa
sebelum tahun 683, selain melalui sisa bangkainya, seyogyanya
mengandalkan sumber-sumber lain nusantara maupun sumber-sumber lain yang
berasal dari luar.
Harus juga diketahui bahwa tidak semua
sumber-sumber luar/asing yang ada sangkutpautnya dengan nusantara, hanya
sumber-sumber tertentu – antara lain dari Cina – ada gunanya. Contoh
yang cukup baik ialah sumber yang menceritakan ketika I-Tsing pada tahun
672, setelah tinggal cukup lama di Palembang, meneruskan perjalanan ke
India menaiki perahu seorang raja Sumatera. Hal ini jelas menunjukkan
adanya pelayaran yang dilakukan oleh orang Sumatera di Samudera Hindia
pada abad-abad itu. Indikasi tersebut juga dipertegas oleh penafsiran
dari Pierre Paris (Nooteboom,1972) berdasarkan sumber luar nusantara
lainnya, yang menyatakan bahwa pada abad ke-3 SM maupun pada abad
pertama Masehi telah ada aktivitas pelayaran menggunakan perahu-perahu
(bercadik) dari Sumatera ke India. Selain itu Groeneveld (1960) juga
mencatat adanya berita Cina yang menceritakan hubungan dengan Jawa sejak
abad ke-5, dan dengan Sumatera pada awal abad ke-6 yakni pada masa
pemerintahan dinasti Liang (502–556).
III. Pembudayaan Moda Transportasi Air Nusantara
Diskusi menyangkut prasejarah sarana transportasi air mengingatkan kita untuk menjenguk rekonstruksi hipotetis yang dikemukakan oleh FL Dunn (1975). Disebutkannya bahwa sekitar 20.000 SM, pada saat Semenanjung Malaya bersatu dengan Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Indocina, hunter-fisher-gatherers sebagai mata pencaharian penduduknya didukung budaya alat batu yang pre-Hoabinhian. Belum adanya effective sea-faring menyebabkan belum dikenalnya maritime trade antara Paparan Sunda dan tempat lain. Transaksi pertukaran ketika itu masih sangat terbatas, dengan dasar dari bentuk pertukaran masih berupa simple gift giving (pertukaran sederhana), atau barter antara masyarakat pengumpul (collector) dan pedagang hulu (primary traders).
Diskusi menyangkut prasejarah sarana transportasi air mengingatkan kita untuk menjenguk rekonstruksi hipotetis yang dikemukakan oleh FL Dunn (1975). Disebutkannya bahwa sekitar 20.000 SM, pada saat Semenanjung Malaya bersatu dengan Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Indocina, hunter-fisher-gatherers sebagai mata pencaharian penduduknya didukung budaya alat batu yang pre-Hoabinhian. Belum adanya effective sea-faring menyebabkan belum dikenalnya maritime trade antara Paparan Sunda dan tempat lain. Transaksi pertukaran ketika itu masih sangat terbatas, dengan dasar dari bentuk pertukaran masih berupa simple gift giving (pertukaran sederhana), atau barter antara masyarakat pengumpul (collector) dan pedagang hulu (primary traders).
Kita dapat mensejajarkan gambaran
tersebut dengan hasil penelitian FL Dunn dan DF Dunn (1984) yang
mengemukakan bahwa ketika itu teknologi pelayaran masih sangat terbatas
sehingga baru rakit saja yang dikenal. Mengingat keterbatasan
perkembangan pengetahuan navigasinya[2], eksploitasi sumber makanan di
tepian pantai dilakukan secara sederhana dengan mengutamakan pencarian
kerang.
Berkenaan dengan pembudayaan rakit
sebagai moda transportasi air, kemunculannya bermula melalui batang
kayu-batang kayu atau bambu yang diikat menjadi satu secara horizontal.
Selanjutnya dilakukan penambahan jumlah lapisan horizontal batang kayu
atau bambunya yang menyebabkan daya apung dan daya muatnya bertambah
besar.
Kemudian ketika Semenanjung Malaya telah
terpisah dari daerah sekitarnya di Asia Tenggara, sekitar 10.000 SM atau
akhir Pleistosen, penghidupan masyarakatnya mungkin berbasiskan pada
perburuan, penangkapan ikan, dan meramu dengan tambahan, tetapi tidak
begitu intensif, bertanam umbi-umbian dan tanaman lain (Dunn,1975).
Perahu dan rakit dimanfaatkan dalam penjelajahan rawa dan hutan bakau
untuk memperoleh bahan makanan. Adanya peningkatan pengetahuan navigasi
memungkinkan dilakukannya pelayaran, walaupun amat terbatas, di laut
terbuka. Keadaan yang demikian itu juga ikut menentukan laju
penjelajahan wilayah baru untuk dieskploitasi (Dunn & Dunn,1984).
Hipotesa mengenai perdagangan menyatakan bahwa maritime trade hampir
tidak ada, kecuali mungkin hanya sebagai sebuah konsekuensi dari
beberapa perjalanan perahu di sepanjang pantai secara kecil-kecilan.
Internal trading masih tetap yang utama namun frekuensi dari coastal
inland trading telah bertambah/meningkat (Dunn,1975).
Membandingkannya dengan kondisi di tempat
lain, di Eropa, mesolitik – masa peralihan dalam zaman batu, antara
paleolitik (zaman batu tua) dan neolitik (zaman batu baru) – berlangsung
antara 10.000 tahun sampai 5.000 tahun sebelum masehi. Bukti adanya
penggunaan moda transportasi air saat itu diperlihatkan melalui penemuan
sebuah perahu lesung (dug-out canoe) dengan haluan yang masih papak.
Selain itu, melalui sisa kerang yang banyak diperoleh dalam berbagai
kegiatan arkeologis di sepanjang pantai Samudera Atlantik dan Laut
Utara, dapat diketahui bahwa masyarakat pendukung budaya mesolitik itu
mengkonsumsi kerang dalam jumlah yang cukup besar (Lambert,1987). Adapun
perahu lesung tertua yang ditemukan di Pesse, Belanda, berdasarkan
analisis pertanggalan radiokarbon diketahui berasal dari sekitar 6315 SM
(Johnstone,1980).
Selanjutnya, di sekitar 5.000–4.000 SM,
internal trading terus berlanjut seperti saat sebelumnya tetapi
perdagangan pantai-pedalaman berkembang sampai pada bentuk perdagangan
eksternal. Kemungkinan maritime trade juga telah dimulai pada masa itu
sebagai konsekuensi dari ekspansi yang demikian cepat dalam pelayaran
laut di kawasan kepulauan Asia Tenggara (Dunn,1975). Diperkirakan
teknologi pembangunan perahu telah berkembang sedemikian rupa sehingga
memungkinkan dilakukannya pelayaran laut terbuka dengan lebih baik.
Penggunaan cadik[3] telah dikenal seperti halnya pemanfaatan layar
sederhana yang memungkinkan penangkapan ikan maupun bahan makanan lain
di perairan yang cukup jauh dari garis pantai (Dunn & Dunn,1984).
Dalam pembudayaan perahu, kita dapat
mengatakan bahwa melalui perjalanan waktu yang cukup panjang,
perkembangan perahu lesung telah menghasilkan perahu papan (planked
boat). Evolusinya dimulai dari proses penambahan papan pada kedua
dinding/sisi perahu lesung untuk meningkatkan kemampuan apung serta daya
muat yang lebih besar. Kebutuhan akan alat transportasi air yang lebih
besar untuk memuat beban lebih banyak menyebabkan dibangunnya perahu
yang lebih besar.
Erat kaitannya dengan hipotesa yang
dikemukakan di atas, keberadaan cadik pada perahu nusantara juga telah
memunculkan pembicaraan atasnya. Pendapat mengenai asal-usul cadik pada
perahu nusantara telah dikemukakan oleh Heine-Geldern (1932).
Pengembangannya oleh Hornell (1946) juga sampai pada kesimpulan bahwa
hal itu memang terjadi di pantai-pantai Asia Tenggara. Berdasarkan hal
itu Nooteboom (1972) berpendapat bahwa lebih tepat bila dikatakan
kemunculan cadik-cadik itu terjadi di perairan muka pantai Asia Tenggara
serta pulau-pulau sekelilingnya yang terletak di bagian barat
Indonesia. Bahwa masyarakat pendukungnya kemudian berpencar dengan
perahu-perahu bercadik berlayar lebih jauh lagi ke jurusan timur,
menyebabkan hampir seluruh kepulauan Indonesia mengenal cadik ganda,
pengapung yang dipasang di kedua sisi perahu. Ujudnya seperti yang
sekarang disebut jukung di Bali, atau londe di Sulawesi Utara. Namun
ketika pelaut-pelaut tadi sampai di perairan yang lebih besar, yakni
Samudera Pasifik, kelengkapan itu dianggap membahayakan. Hornell
mengemukakan bahwa ketika itulah diputuskan untuk hanya menggunakan
cadik tunggal. Itu sebabnya di Oceania lebih dikenal keberadaan
perahu-perahu bercadik tunggal.
Keberadaan perahu sebagai sarana
transportasi air di nusantara tentu dapat dikaitkan dengan migrasi
penduduk dan penyebaran bahasa[4]. Dalam beberapa hipotesa yang pernah
dikemukakan untuk menerangkan migrasi penduduk berbahasa Austronesia di
kepulauan Asia Tenggara, Pasifik, bahkan Madagaskar, sebagian yang
dikerjakan dalam navigasi amat esensial. Dalam teori yang disimpulkan
oleh Glover (1979), ekspansi kebudayaan kapak persegi yang menandai awal
masa neolitik berlangsung dari utara Asia Tenggara di sekitar
Semenanjung Malaya dan pulau-pulau sekitarnya. Ketika itu berkembang
pula rice culture, pendomestikan babi dan kerbau, perahu bercadik,
bahasa Austronesia, dan pakaian kulit kayu.
Setelah itu, Bellwood (1985) melalui
penggunaan data baru yang dilengkapi dengan linguistik prehistorik dan
dating sisa arkeologis memberikan interpretasi lain tentang awal
kebudayaan Austronesia. Taiwan di sekitar 4.000 SM, atau sebelumnya,
sudah dihuni manusia Austronesia. Sebagian daripadanya bermigrasi ke
Luzon melalui jalan laut untuk kemudian menyebar ke seluruh Philipina
pada sekitar 3.000 SM. Dari sana, sebagian berangkat ke Maluku, dan yang
lainnya ke Sulawesi dan sekitar bagian barat Indonesia serta
Semenanjung Malaya melalui Palawan. Seluruh migrasi yang berakhir pada
kurun waktu antara 2.000 — 500 SM itu dilakukan dengan menggunakan
perahu.
Masuk dalam pembicaraan tentang sarana
transportasi air untuk masa yang teramat tua dari sejarah navigasi di
Asia Tenggara ini, memang belum didukung oleh bukti arkeologis yang
langsung, dalam bentuk situs bangkai perahu yang utuh. Di Kampung Sungai
Lang, Banting, Selangor, sepasang nekara telah dijumpai tertanam di
atas sekeping papan perahu, dan dating atas papan itu telah memberi usia
sekitar abad V SM (Peacock,1965). Adapun situs yang lebih kuna yang
menghasilkan elemen pembentukan perahu prehistorik dijumpai di
Semenanjung Malaya di tepi Sungai Langat di dekat Kampung Jenderam
Hilir, di Selangor, Malaysia. Ini berkenaan dengan keberadaan sebuah
dayung, bersama-sama dengan peralatan neolitik[5] yang memungkinkan
diperolehnya data kalibrasi yang menunjukkan sekitar abad VI SM
(Batchelor,1977).
Memang harus diterima bahwa penemuan
dayung tersebut belum dapat menunjukkan apakah ketika itu juga telah
digunakan perahu papan. Sebagaimana diketahui, dua jenis perahu yang
dikenal, masing-masing adalah perahu lesung (dug-out canoe) dan perahu
papan (planked boat) sama-sama dapat menggunakan dayung sebagai tenaga
penggeraknya. Namun keberadaan sekeping papan perahu di Kampung Sungai
Lang telah membuktikan bahwa setidak-tidaknya pada abad V SM telah
dikenal teknologi pembangunan perahu papan.
Adapun untuk masa yang lebih kemudian,
keberadaan perahu nusantara menjadi semakin jelas melalui kegiatan
arkeologis atas beberapa situs bangkai perahu di seputar Laut Cina
Selatan (yang dalam berbagai kesempatan dan konteks pantas disebut Laut
Tengah/Mediterania-nya Asia). Berikut ini adalah keterangan singkatnya.
1. Kuala Pontian
Pada situs di pantai timur Pahang, Malaysia ini ditemukan tiga buah papan, sebuah lunas, dan beberapa gading-gading. Ukuran terpanjang 6,1 meter. Papan-papannya disatukan dengan ikatan tali ijuk melalui lubang-lubang di tepian papan. Di tepian papan juga terdapat lubang-lubang tempat menanam pasak. Untuk menyatukan papan dengan gading-gading, digunakan tali ijuk melalui tambuko – tonjolan pada papan yang sengaja dipahat dengan bentuk dasar persegi empat – yang bentuknya membulat (Evans,1927). Carbon dating menghasilkan titimangsa antara tahun 260–430 (Booth,1984).
Pada situs di pantai timur Pahang, Malaysia ini ditemukan tiga buah papan, sebuah lunas, dan beberapa gading-gading. Ukuran terpanjang 6,1 meter. Papan-papannya disatukan dengan ikatan tali ijuk melalui lubang-lubang di tepian papan. Di tepian papan juga terdapat lubang-lubang tempat menanam pasak. Untuk menyatukan papan dengan gading-gading, digunakan tali ijuk melalui tambuko – tonjolan pada papan yang sengaja dipahat dengan bentuk dasar persegi empat – yang bentuknya membulat (Evans,1927). Carbon dating menghasilkan titimangsa antara tahun 260–430 (Booth,1984).
2. Butuan
Di muara sungai Butuan di Ambangan, Butuan City, Filipina, dijumpai sisa bangkai dua buah perahu. Bangkai perahu pertama merupakan sisa sebuah perahu berukuran 11,6 meter. Papan-papan pembentuknya dikerjakan dengan cara dipahat. Selain pemanfaatan tambuko untuk penyatuan lunas dan papan badan perahu, digunakan pula pasak. Dating dengan metode C14 menunjukkan bahwa perahu itu berasal dari abad III–V. Adapun mengenai perahu kedua, walaupun ukurannya lebih besar namun menggunakan teknik pembangunan yang sama. Papan-papannya memiliki ukuran panjang 15 meter dengan lebar sekitar 20 cm dan tebal 3 cm.
Di muara sungai Butuan di Ambangan, Butuan City, Filipina, dijumpai sisa bangkai dua buah perahu. Bangkai perahu pertama merupakan sisa sebuah perahu berukuran 11,6 meter. Papan-papan pembentuknya dikerjakan dengan cara dipahat. Selain pemanfaatan tambuko untuk penyatuan lunas dan papan badan perahu, digunakan pula pasak. Dating dengan metode C14 menunjukkan bahwa perahu itu berasal dari abad III–V. Adapun mengenai perahu kedua, walaupun ukurannya lebih besar namun menggunakan teknik pembangunan yang sama. Papan-papannya memiliki ukuran panjang 15 meter dengan lebar sekitar 20 cm dan tebal 3 cm.
3. Kolam Pinisi
Pada situs di bagian barat kota Palembang ini terdapat sisa struktur sebuah perahu yang berukuran besar. Lebih dari enampuluh keping badan dan lunas perahu yang ditemukan sudah dalam keadaan terpotong-potong dengan ukuran maksimum hanya 2,5 meter. Tebalnya sekitar 5 cm, dengan lebar antara 20–30 cm. Seluruh papan-papan memiliki tambuko pada permukaannya. Lubang-lubang untuk memasukkan talididapati tidak hanya pada tambuko saja tetapi juga pada bagian tepi papan. Ini menunjukkan bahwa teknik ikat digunakan untuk menyatukan tidak saja papan pembentuk badan perahu melainkan pula papan badan perahu dengan gading-gading. Adapun lubang-lubang untuk menempatkan pasak pada bagian tepi papan menunjukkan bahwa pasak kayu telah digunakan untuk memperkuat penyatuan badan perahu. Perolehan data kalibrasi melalui pemanfaatan metode C-14 atas sampel papan perahu itu menunjukkan angka tahun 434–631 Masehi (Manguin,1989).
Pada situs di bagian barat kota Palembang ini terdapat sisa struktur sebuah perahu yang berukuran besar. Lebih dari enampuluh keping badan dan lunas perahu yang ditemukan sudah dalam keadaan terpotong-potong dengan ukuran maksimum hanya 2,5 meter. Tebalnya sekitar 5 cm, dengan lebar antara 20–30 cm. Seluruh papan-papan memiliki tambuko pada permukaannya. Lubang-lubang untuk memasukkan talididapati tidak hanya pada tambuko saja tetapi juga pada bagian tepi papan. Ini menunjukkan bahwa teknik ikat digunakan untuk menyatukan tidak saja papan pembentuk badan perahu melainkan pula papan badan perahu dengan gading-gading. Adapun lubang-lubang untuk menempatkan pasak pada bagian tepi papan menunjukkan bahwa pasak kayu telah digunakan untuk memperkuat penyatuan badan perahu. Perolehan data kalibrasi melalui pemanfaatan metode C-14 atas sampel papan perahu itu menunjukkan angka tahun 434–631 Masehi (Manguin,1989).
4. Tulung Selapan
Tali ijuk, pasak, tambuko, dan ketebalan papan-papannya, mengindikasikan keberadaan perahu kuna yang menggunakan teknik ikat. Ukuran perahu di pesisir timur Sumatera Selatan ini tidak berkisar jauh dari ukuran perahu-perahu lain yang sebelumnya telah lebih dahulu ditemukan kembali di wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Dugaan kronologinya lebih mengacu pada kolompok perahu dari abad-abad V–VIII.
Tali ijuk, pasak, tambuko, dan ketebalan papan-papannya, mengindikasikan keberadaan perahu kuna yang menggunakan teknik ikat. Ukuran perahu di pesisir timur Sumatera Selatan ini tidak berkisar jauh dari ukuran perahu-perahu lain yang sebelumnya telah lebih dahulu ditemukan kembali di wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Dugaan kronologinya lebih mengacu pada kolompok perahu dari abad-abad V–VIII.
5. TPKS Karanganyar
Beberapa potong papan sisa badan perahu telah ditemukan di areaI Taman Purbakala Kedatuan Sriwijaya di Palembang. Ketebalannya 3 cm dengan jarak lubang untuk memasukkan tali ijuk adalah 3 cm, dan jarak lubang untuk pasak kayu sekitar 11 cm. Untuk sementara berkenaan dengan teknologi pembangunannya, sisa bangkai perahu itu digolongkan ke dalam kelompok abad V–VIII.
Beberapa potong papan sisa badan perahu telah ditemukan di areaI Taman Purbakala Kedatuan Sriwijaya di Palembang. Ketebalannya 3 cm dengan jarak lubang untuk memasukkan tali ijuk adalah 3 cm, dan jarak lubang untuk pasak kayu sekitar 11 cm. Untuk sementara berkenaan dengan teknologi pembangunannya, sisa bangkai perahu itu digolongkan ke dalam kelompok abad V–VIII.
6. Sambirejo
Pada situs di wilayah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan ini dijumpai 11 keping papan yang merupakan bagian badan perahu. Ukuran terpanjang papan-papan tersebut adalah 10,9 meter dan yang terpendek 4 meter. Ketebalan rata-rata 3,5 cm dengan lebar 23 cm. Untuk Menyatukan papan-papan tersebut, selain pasak juga digunakan tali ijuk. Penggunaan pasak tampak dari lubang-lubang di tepian papan serta pasak yang masih tertanam di dalamnya. Pemanfaatan tali ijuk tampak jelas dari adanya tambuko dengan lubang-lubang untuk memasakkan tali ijuk. Tali ijuk tersebut masih dijumpai pada sebagian papan ber-tambuko itu. Bersamaan dengan papan-papan tersebut, dijumpai pula sebuah kemudi kayu berukuran panjang 5,9 meter dengan bagian terlebarnya 56 cm.
Pada situs di wilayah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan ini dijumpai 11 keping papan yang merupakan bagian badan perahu. Ukuran terpanjang papan-papan tersebut adalah 10,9 meter dan yang terpendek 4 meter. Ketebalan rata-rata 3,5 cm dengan lebar 23 cm. Untuk Menyatukan papan-papan tersebut, selain pasak juga digunakan tali ijuk. Penggunaan pasak tampak dari lubang-lubang di tepian papan serta pasak yang masih tertanam di dalamnya. Pemanfaatan tali ijuk tampak jelas dari adanya tambuko dengan lubang-lubang untuk memasakkan tali ijuk. Tali ijuk tersebut masih dijumpai pada sebagian papan ber-tambuko itu. Bersamaan dengan papan-papan tersebut, dijumpai pula sebuah kemudi kayu berukuran panjang 5,9 meter dengan bagian terlebarnya 56 cm.
Pengamatan atas temuan tersebut
menghasilkan dugaan bahwa kesebelas papan tersebut tidak berasal hanya
dari sebuah perahu saja, melainkan tiga. Delapan papan berasal dari
sebuah perahu yang panjangnya diperkirakan 20–23 meter dengan bagian
terlebar mencapai 6 meter. Dua papan berikutnya menunjukkan keberadaan
sebuah perahu lain yang berdasarkan analisis C-14 diketahui berasal
antara tahun 610 sampai tahun 775. Dugaan tentang perahu ketiga
diperoleh dari keberadaan papan lain yang ditemukan bersama
(Manguin,1989).
IV. Arkeologi dan Teknologi Pembangunan Perahu Nusantara
Upaya perekonstruksian peristiwa masa lalu serta uraian sejarahnya, didasarkan atas sumber informasi yang berupa bukti peninggalan peristiwa itu sendiri. Ujudnya dapat berupa dokumen tertulis maupun sisa benda budaya. Oleh karena itu keliru bila membayangkan bahwa arkeologi hanya kecil kontribusinya tentang apa yang sudah diketahui dari catatan sejarah. Untuk periode prasejarah yang jelas tidak ada catatannya, dan kadang-kadang dalam periode sejarah dimana banyak kesenjangan tentang pengetahuan peristiwa di dalamnya, di sanalah arkeologi membantu melengkapinya. Pada beberapa kesempatan, sumber terkaya dari bukti arkeologi mengenai peristiwa sejarah itu diperoleh melalui sisa bangkai perahu yang “terpelihara” dalam lingkungan dimana obyek tersebut berada yang berhasil diliput melalui kerja arkeologi maritim (Renfrew & Bahn,1991).
Upaya perekonstruksian peristiwa masa lalu serta uraian sejarahnya, didasarkan atas sumber informasi yang berupa bukti peninggalan peristiwa itu sendiri. Ujudnya dapat berupa dokumen tertulis maupun sisa benda budaya. Oleh karena itu keliru bila membayangkan bahwa arkeologi hanya kecil kontribusinya tentang apa yang sudah diketahui dari catatan sejarah. Untuk periode prasejarah yang jelas tidak ada catatannya, dan kadang-kadang dalam periode sejarah dimana banyak kesenjangan tentang pengetahuan peristiwa di dalamnya, di sanalah arkeologi membantu melengkapinya. Pada beberapa kesempatan, sumber terkaya dari bukti arkeologi mengenai peristiwa sejarah itu diperoleh melalui sisa bangkai perahu yang “terpelihara” dalam lingkungan dimana obyek tersebut berada yang berhasil diliput melalui kerja arkeologi maritim (Renfrew & Bahn,1991).
Informasi dari data yang diperoleh
melalui kegiatan arkeologi maritim selama ini, secara garis besar
memperlihatkan bahwa teknologi pembangunan perahu nusantara (di luar
jenis yang disebut dengan dug-out canoe atau perahu lesung, yang dibuat
hanya dari sebatang pohon saja) menggunakan a. teknik Ikat; b. teknik
gabungan ikat dan pasak; c. teknik pasak; serta d. teknik lain. Patut
dicatat pula bahwa pengelompokkan teknologi pembangunan perahu ini dapat
dikaitkan dengan aspek kronologinya.
1. Teknik ikat
Teknik ikat rnurni memang belum dijumpai bukti arkeologisnya. Hasil penelitian terbatas atas data yang menginformasikan keberadaan pemanfaatan teknik ikat yang bercampur dengan pemanfaatan pasak, namun teknik ikatnya sendiri tetap mendominasi pembentukan badan perahu. Bangkai perahu di situs Kuala Pontian adalah contohnya. Sementara catatan etnografis membantu pengenalan teknologi tua tadi seperti yang masih terlihat pada perahu penangkap ikan paus (peledang)[6] di Pulau Lembata (Lomblen), Nusa Tenggara Timur; maupun perahu berteknik ikat di Pulau Hainan (Vietnam) dan Pilipina.
Teknik ikat rnurni memang belum dijumpai bukti arkeologisnya. Hasil penelitian terbatas atas data yang menginformasikan keberadaan pemanfaatan teknik ikat yang bercampur dengan pemanfaatan pasak, namun teknik ikatnya sendiri tetap mendominasi pembentukan badan perahu. Bangkai perahu di situs Kuala Pontian adalah contohnya. Sementara catatan etnografis membantu pengenalan teknologi tua tadi seperti yang masih terlihat pada perahu penangkap ikan paus (peledang)[6] di Pulau Lembata (Lomblen), Nusa Tenggara Timur; maupun perahu berteknik ikat di Pulau Hainan (Vietnam) dan Pilipina.
2. Teknik gabungan ikat dan pasak
Bukti yang diperoleh dari beberapa situs bangkai perahu di Sumatera Selatan (Sambirejo; Kolam Pinisi; Tulung Selapan; TPKS Karanganyar) memperlihatkan bahwa teknik ikat makin bergeser perannya oleh kehadiran pasak kayu. Ini tercerrnin dengan semakin dekatnya jarak antara lubang-lubang untuk memasukkan pasak kayu tersebut pada tepian papan-papannya. Artinya pasak kayu tidak lagi berfungsi hanya sebagai sarana pembantu memperkokoh sambungan tetapi justru merupakan bagian yang dominan dalam teknik pembangunan perahu tersebut. Secara kronologis, inilah tipe perahu dari antara abad ke-5 hingga abad ke-8. Berkaitan dengan itu, kita juga dapat mengatakan bahwa upaya pengenalan akan model perahu yang digunakan pada zaman Sriwijaya tampaknya layak mengacu ke sana (Koestoro,1993).
Bukti yang diperoleh dari beberapa situs bangkai perahu di Sumatera Selatan (Sambirejo; Kolam Pinisi; Tulung Selapan; TPKS Karanganyar) memperlihatkan bahwa teknik ikat makin bergeser perannya oleh kehadiran pasak kayu. Ini tercerrnin dengan semakin dekatnya jarak antara lubang-lubang untuk memasukkan pasak kayu tersebut pada tepian papan-papannya. Artinya pasak kayu tidak lagi berfungsi hanya sebagai sarana pembantu memperkokoh sambungan tetapi justru merupakan bagian yang dominan dalam teknik pembangunan perahu tersebut. Secara kronologis, inilah tipe perahu dari antara abad ke-5 hingga abad ke-8. Berkaitan dengan itu, kita juga dapat mengatakan bahwa upaya pengenalan akan model perahu yang digunakan pada zaman Sriwijaya tampaknya layak mengacu ke sana (Koestoro,1993).
3. Teknik Pasak
Walaupun bukti arkeologisnya belum dijumpai, sumber Portugis abad ke-16 mendeskripsikan tentang jung berteknik pasak berkapasitas hingga 500 ton. Dalam perahu yang bertradisi Asia Tenggara itu tidak dikenal pemakaian simpul tali atau paku. Pemanfaatan teknik pasak demikian itu terus berlanjut hingga beberapa waktu berselang, sebagaimana terlihat dalam pembangunan perahu pinisi di Sulawesi dan lete di Madura.
Walaupun bukti arkeologisnya belum dijumpai, sumber Portugis abad ke-16 mendeskripsikan tentang jung berteknik pasak berkapasitas hingga 500 ton. Dalam perahu yang bertradisi Asia Tenggara itu tidak dikenal pemakaian simpul tali atau paku. Pemanfaatan teknik pasak demikian itu terus berlanjut hingga beberapa waktu berselang, sebagaimana terlihat dalam pembangunan perahu pinisi di Sulawesi dan lete di Madura.
4 . Teknik Lain
Selain yang telah disebut di atas, dikenal pula adanya teknik lain dalam pembangunan perahu, yakni teknik jahit dan teknik paku. Kedua ,jenis teknik tersebut sampai saat ini masih dapat dijumpai, yakni di sekitar Samudera Hindia dan di Cina (Utara). Sayang sekali belum ada penemuan atas situs-situs bangkai perahu yang memanfatkan teknik pembangunan yang demikian di nusantara.
Selain yang telah disebut di atas, dikenal pula adanya teknik lain dalam pembangunan perahu, yakni teknik jahit dan teknik paku. Kedua ,jenis teknik tersebut sampai saat ini masih dapat dijumpai, yakni di sekitar Samudera Hindia dan di Cina (Utara). Sayang sekali belum ada penemuan atas situs-situs bangkai perahu yang memanfatkan teknik pembangunan yang demikian di nusantara.
V. Pelayaran dan Perdagangan Nusantara
Bukti arkeologis berupa nekara – gendang besar dari perunggu berhiaskan gambar perahu, orang menari, topeng, dan sebagainya sebagai peninggalan dari zaman perunggu yang dipergunakan dalam upacara ritual – yang di jumpai di beberapa tempat di wilayah nusantara, seperti di Dieng (Jawa), Pulau Selayar, Pulau Luang (Nusa Tenggara Timur), atau di Pulau Roti (juga di Nusa Tenggara Timur) memperlihatkan bahwa pelayaran telah berlangsung sejak masa yang silam. Aktivitas pelayaran itu juga sejalan dengan perdagangan yang dilakukan antar pulau di Indonesia dan antara nusantara dengan daratan Asia. Tukar-menukar tentunya menjadi cara perdagangan ketika itu. Nekara sebagai salah satu produk masyarakat prasejarah memiliki nilai tersendiri pada masyarakat pendukung budayanya. Bahwa benda-benda tersebut kebanyakan dihasilkan di daratan Asia, keberadaannya di nusantara yang jauh dari tempat asalnya merupakan buah dari perdagangan yang berlangsung. Walaupun tidak ada keterangan tertulis mengenai itu, analisis tipologis yang diberlakukan atas obyek-obyek prasejarah itu memperlihatkan kronologi yang cukup tua. Kita dapat membayangkannya dengan mengetahui bahwa di Asia Tenggara logam mulai dikenal sekitar 3.000–2.000 tahun SM. Adapun di Indonesia penggunaan logam diketahui pada masa beberapa abad sebelum masehi.
Bukti arkeologis berupa nekara – gendang besar dari perunggu berhiaskan gambar perahu, orang menari, topeng, dan sebagainya sebagai peninggalan dari zaman perunggu yang dipergunakan dalam upacara ritual – yang di jumpai di beberapa tempat di wilayah nusantara, seperti di Dieng (Jawa), Pulau Selayar, Pulau Luang (Nusa Tenggara Timur), atau di Pulau Roti (juga di Nusa Tenggara Timur) memperlihatkan bahwa pelayaran telah berlangsung sejak masa yang silam. Aktivitas pelayaran itu juga sejalan dengan perdagangan yang dilakukan antar pulau di Indonesia dan antara nusantara dengan daratan Asia. Tukar-menukar tentunya menjadi cara perdagangan ketika itu. Nekara sebagai salah satu produk masyarakat prasejarah memiliki nilai tersendiri pada masyarakat pendukung budayanya. Bahwa benda-benda tersebut kebanyakan dihasilkan di daratan Asia, keberadaannya di nusantara yang jauh dari tempat asalnya merupakan buah dari perdagangan yang berlangsung. Walaupun tidak ada keterangan tertulis mengenai itu, analisis tipologis yang diberlakukan atas obyek-obyek prasejarah itu memperlihatkan kronologi yang cukup tua. Kita dapat membayangkannya dengan mengetahui bahwa di Asia Tenggara logam mulai dikenal sekitar 3.000–2.000 tahun SM. Adapun di Indonesia penggunaan logam diketahui pada masa beberapa abad sebelum masehi.
Kemudian untuk masa yang lebih kemudian,
setiap kali ada sumber tertulis tentang sea-faring Indonesia di Samudera
Indonesia, ternyata bahwa itu berasal dari daerah paling barat dari
Indonesia, yakni Sumatera atau daerah yang berdekatan. Sumatera, bersama
pulau-pulau kecil didekatnya dan pantai barat Semenanjung Malaya,
memang penting sekali artinya bagi pelayaran di Samudera Indonesia. Rute
laut yang menghubungkan daerah kebudayaan yang besar dan tua dari Asia
Selatan dan Asia Timur tentu melalui kawasan tersebut (Nooteboom,1972).
Penduduk Sumatera, yang berada di ujung barat nusantara telah melibatkan
diri dalam perdagangan antara Cina dan India sejak abad ke-5 dan ke-6.
Kemenyan dan kapur barus adalah sebagian produk yang menjadi komoditi
untuk memenuhi kebutuhan pedagang Arab, Persia, dan Cina (Selling,1981).
Sebagian ahli juga sepakat bahwa sejak abad ke-7, secara teratur
pedagang Arab yang kebanyakan datang dari India berlayar ke kawasan Asia
Tenggara. Perdagangan secara meluas tidak saja dilakukannya di
nusantara, malahan mencapai Cina sebelah selatan. Adapun komoditi yang
diperlukan adalah lada, rempah-rempah, dan kayu wangi (Hall,1988).
Keterangan yang demikian selayaknya
diterima mengingat besarnya jumlah situs bangkai perahu di Sumatera.
Sebagian besar daripadanya memang cukup layak untuk digunakan sebagai
perahu niaga yang laik layar di perairan terbuka. Kronologinyapun
mengacu pada masa-masa pra-keindiaan nusantara.
Berkenaan dengan itu tampaknya tidak
keliru bila kita sepakat dengan Van Leur (1955) dan Wolters (1967) yang
berpendapat bila hubungan dagang antara Indonesia dan India lebih dahulu
berkembang daripada hubungan dagang antara Indonesia dan Cina. Hubungan
tersebut tentunya telah lama terjadi sebelum hal itu disinggung dalam
catatan sejarah. Salah satu sebabnya mungkin karena pelayaran dan
perdagangan India lebih bebas dilakukan para saudagarnya dibandingkan
dengan Cina yang cenderung terbatas akibat ketatnya pengawasan pihak
penguasa/rajanya.
Hal lain yang juga patut disimak adalah
kenyataan bahwa pengaruh India dan Cina pada perkembangan sejarah
Indonesia di zaman kuna cukup berbeda. Dampak dari luasnya hubungan
dagang dengan India ada lahirnya perubahan-perubahan dalam bentuk tata
negara di sebagian daerah Indonesia. Demikian pula dengan perubahan
dalam tata dan susunan masyarakatnya sebagai akibat tersebarnya agama
Buddha dan Hindu. Hal semacam ini tidak tampak bila dikenakan pada
hubungan antara Indonesia dengan Cina.
Patut digarisbawahi adalah pendapat
Nooteboom (1972), bahwa dahulu penguasa-penguasa nusantara-lah yang
mendatangkan Brahmana dari India untuk memanfaatkan pengetahuan yang
dimilikinya serta untuk lebih mengukuhkan kekuasaan dan pamornya.
Kemungkinan ini lebih besar bila memang ada pelayaran Indonesia sendiri
ke India. Dan tentu pendapat ini berbeda dengan teori lain yang
menyatakan terjadinya semacam bentuk kolonisasi/penjajahan oleh India
atas bumi nusantara, karena bila pendudukan India pada waktu itu memang
betul terjadi sudah pasti aktivitas pelayaran Indonesia tidak dapat
berkembang dengan baik.
VI. Penutup
Itulah sebagian yang dapat dibayangkan mengenai prasejarah perahu nusantara berdasarkan situs bangkai perahu dan sumber tertulis yang relatif terbatas jumlahnya. Bila akhirnya sebuah prasasti berangka tahun 683 muncul di atas panggung sejarah, maka ketika itulah kita berjumpa dengan sebuah kata untuk perahu dalam bahasa Melayu Kuna, suatu bahasa yang telah melampaui perkembangan berabad-abad lamanya. Tonggak ini pula yang membawa kita untuk masuk pada zaman sejarah perahu nusantara.
Itulah sebagian yang dapat dibayangkan mengenai prasejarah perahu nusantara berdasarkan situs bangkai perahu dan sumber tertulis yang relatif terbatas jumlahnya. Bila akhirnya sebuah prasasti berangka tahun 683 muncul di atas panggung sejarah, maka ketika itulah kita berjumpa dengan sebuah kata untuk perahu dalam bahasa Melayu Kuna, suatu bahasa yang telah melampaui perkembangan berabad-abad lamanya. Tonggak ini pula yang membawa kita untuk masuk pada zaman sejarah perahu nusantara.
Sekilas tentang dinamika yang dijumpai
dalam lintas sejarah kemaritiman nusantara, menyangkut pula aspek
teknologinya. Bahwa pemanfaatan teknik pembangunan perahu mengalami
perkembangan, tentunya berkenaan tidak saja dengan pemenuhan kebutuhan
melalui kemampuan yang dimiliki melainkan pula didorong oleh
bentuk-bentuk komunikasi budaya dan antar bangsa yang merambahinya.
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan
tentu tidak boleh mengabaikan penelitian sejarah maritimnya. Harus ada
kesadaran bahwa wawasan bahari tidak hanya diperlukan untuk zaman yang
lampau yang kita sebut pula dengan zaman bahari, melainkan sangat
penting bagi eksistensi dan kelangsungan hidup suatu negara kepulauan.
Bagaimanapun juga, pengaruh daripada kekuatan laut kepada jalannya
sejarah manusia, termasuk sejarah Kepulauan Indonesia, adalah suatu
kenyataan yang tidak dapat disangkal.
Pengkajian atas obyek arkeologi dan
sejarah berpotensi untuk memperlihatkan bahwa kemampuan berlayar
perahu-perahu nusantara dengan jalur-jalur pelayarannya membuktikan
bahwa sejak dahulu bangsa-bangsa di nusantara telah memiliki pengetahuan
navigasi yang memungkinkan mereka berlayar ke mana saja mengarungi
samdera yang luas. Ini juga mempertegas pemahaman kita akan adanya
kondisi yang kelak menghasilkan pemberlakuan hukum/peraturan dalam
pelayaran dan perdagangan yang memungkinkan aktivitas-aktivitas itu
berjalan pesat dan tertib.
Jelas masih banyak yang harus dikerjakan
untuk memperoleh gambaran utuh rekonstruksi kehidupan masyarakat bahari
nusantara sejak dahulu kala. Semua aspek perlu diketahui dengan baik
dalam upaya penyusunan uraian sejarah bangsa. Disadari bahwa sejarah
memang bukan sekedar kumpulan fakta atau pencarian berbagai akibat dari
peristiwa masa lalu untuk masa selanjutnya saja, namun terlebih dari itu
dapat memberikan keluaran konkrit bagi masyarakat untuk menyikapi
benang merah yang menghubungkan fakta masa lalu dengan peristiwa sejenis
yang (cenderung) terulang. Dan menutup kepingan kerja sederhana ini,
yang membicarakan soal pemahaman dan penafsiran subyektif relatif atas
informasi yang tersedia, kami membuka diri bagi pandangan dan gagasan
alternatif yang memungkinkan penyempurnaannya.
Catatan
[1]. Ini berkenaan dengan temuan di
Muarakaman, Kutai, di bagian baratlaut Kota Samarinda, Kalimantan Timur
berupa tujuh buah yupa – tiang batu yang apabila ditegakkan pada sebuah
tempat upacara persembahan agama Siwa merupakan sarana untuk menambatkan
tali pengikat hewan kurban – berisi inskripsi beraksara Pallawa dalam
bahasa Sansekerta. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh raja Mulawarman
yang menyebut tentang kakeknya yang bernama Kundunga, dan ayahnya yang
bernama Aswawarman yang dikatakan sebagai pendiri dinasti.
[2]. Pengertian navigasi berkenaan dengan pengetahuan untuk menjalankan/melayarkan perahu dari satu tempat ke tempat yang lain. Masuk di dalamnya adalah pengertian hal-hal yang perlu diketahui agar pelayaran berjalan lancar. Navigasi tradisional umumnya hanya bersumber pada pengalaman, tradisi, naluri, dan kepekaan terhadap alam sekitar. Secara tradisional, pengetahuan navigasi meliputi antara lain menentukan posisi dan mengenal arah/haluan yang harus dituju (piloting) (Lopa,1982).
Pengertian di atas juga berkenaan dengan cuaca, karena interaksi yang erat terjadi antara udara dan laut. Perubahan cuaca akan mempengaruhi kondisi laut, karena angin misalnya, sebagai salah satu unsur meteorologi yang penting dalam masalah kelautan, menentukan terjadinya gelombang dan arus. Beruntung bahwa di Indonesia pada umumnya jarang terjadi angin yang sangat kuat. Berbeda dengan di kawasan samudera di sekitar 100 LU dan juga sekitar 100 LS dimana badai yang lebih dikenal dengan siklon tropis sering mengamuk (Nontji,1987).
Masih berkenaan dengan angin, pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin rnusim (monsoon). Angin musim bertiup secara mantap ke arah tertentu pada satu periode, dan pada periode lainnya bertiup dengan arah yang berlainan. Mengingat posisi geografisnya, kawasan Indonesia paling ideal untuk berkembangnya angin musim. Pada Musim Barat, ketika angin berhembus dari Asia ke Australia, para pelaut menaikkan layar meninggalkan pelabuhan di Jawa menuju Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Kemudian mereka kembali ke pangkalannya dengan memanfatkan angin Musim Timur (Nontji,1987). Di beberapa tempat, disebutkan pula nama lain untuk istilah angin Musim Timur, seperti “angin pedewakang” di daerah Riau (Kepulauan) karena pada masa itulah mereka melihat iring-iringan ”pedewakang” (bentuk yang “lebih tua” dari perahu pinisi ) membanjiri kawasan perairan sekitarnya menuju ke Singapura.
[3]. Cadik atau katir adalah potongan/batang bambu atau kayu yang dipasang di kiri kanan perahu serupa dengan sayap sebagai alat pengatur keseimbangan agar tidak mudah terbalik.
[4]. Besarnya arus migrasi berkaitan dengan kesulitan mengatasi penghalang antara. Hipotesis ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Lee (1995), memperlihatkan bahwa salah satu pertimbangan dalam mengambil keputusan bermigrasi adalah adanya penghalang antara, sehingga – misalnya – ketika pada abad ke-17 dan ke-18 pelayaran ke Amerika masih merupakan pekerjaan yang berbahaya dan tidak mudah dikerjakan, arus migrasi sedikit sekali. Sebaliknya, contoh lain dalam sejarah membuktikan bahwa dengan terhapusnya penghalang-penghalang tersebut memunculkan arus-arus migrasi. Sehingga tidak mengherankan apabila perkembangan teknologi pembangunan perahu dan pengetahuan navigasi pada sebagian bangsa berbahasa Austronesia di Asia Tenggara, merupakan sarana mengatasi kesulitan yang melahirkan arus-arus migrasi berikut kebudayaan pada masanya.
[5]. Neolitik adalah fase atau tingkat kebudayaan dalam zaman prasejarah yang mempunyai ciri berupa unsur kebudayaan, seperti peralatan yang terbuat dari batu yang telah diupam, pertanian menetap, dan pembuatan tembikar/gerabah.
[6]. Peledang (ahli pembuatnya disebut atamole) digunakan oleh kelompok masyarakat di Lamalera, Pulau Lembata (dahulu disebut Pulau Lomblen) yang masih melakukan aktivitas penangkapan ikan-ikan besar seperti ikan paus, pari, dan ikan hiu pada musim tertentu di perairan Laut Flores. Musim tersebut disebut sebagai musim lefa. Kegiatan perburuan didahului dengan proses ritual (upacara olanua) bagi pemberkatan peralatan dan seluruh anggota masyarakat. Aktivitas dilakukan dengan menggunakan peralatan tradisional berupa peledang (perahu) berbahan kayu, layar, tali (berbahan benang kapas, daun gebang, dan serat kulit pohon waru), kafe (tempuling atau harpoon), faye (alat untuk mendayung), dan sebagainya. Lamafa (juru tikam di laut) adalah sosok penting yang menentukan obyek yang hendak ditombak/diburu, yang dihubungkan dengan upaya pelestarian binatang buruan. Menyangkut hasil penangkapan/perburuan itu, para janda, yatim-piatu, dan fakir miskin mendapat prioritas untuk menikmatinya.
Tradisi ini tampaknya memang telah berlangsung lama, dan itu dapat dihubungkan dengan dijumpainya obyek arkeologis berupa lukisan perahu dan manusia di permukaan bongkah batu andesit di Lamagute yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari garis pantai Laut Flores. Perahu digambarkan dengan tiga tiang layar dan dilengkapi 5 buah dayung. Bagian buritannya sudah tidak jelas tergambarkan. Panjang lukisan perahu 60 cm, lebar 13 cm dengan panjang layar 53 cm, lebar layar 22 cm, dan tinggi tiang layar 30 cm, yang tertera pada bongkah batu andesit berukuran tinggi 3 meter dan lebar 3,5 meter (Atmosudiro,1984).
[2]. Pengertian navigasi berkenaan dengan pengetahuan untuk menjalankan/melayarkan perahu dari satu tempat ke tempat yang lain. Masuk di dalamnya adalah pengertian hal-hal yang perlu diketahui agar pelayaran berjalan lancar. Navigasi tradisional umumnya hanya bersumber pada pengalaman, tradisi, naluri, dan kepekaan terhadap alam sekitar. Secara tradisional, pengetahuan navigasi meliputi antara lain menentukan posisi dan mengenal arah/haluan yang harus dituju (piloting) (Lopa,1982).
Pengertian di atas juga berkenaan dengan cuaca, karena interaksi yang erat terjadi antara udara dan laut. Perubahan cuaca akan mempengaruhi kondisi laut, karena angin misalnya, sebagai salah satu unsur meteorologi yang penting dalam masalah kelautan, menentukan terjadinya gelombang dan arus. Beruntung bahwa di Indonesia pada umumnya jarang terjadi angin yang sangat kuat. Berbeda dengan di kawasan samudera di sekitar 100 LU dan juga sekitar 100 LS dimana badai yang lebih dikenal dengan siklon tropis sering mengamuk (Nontji,1987).
Masih berkenaan dengan angin, pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin rnusim (monsoon). Angin musim bertiup secara mantap ke arah tertentu pada satu periode, dan pada periode lainnya bertiup dengan arah yang berlainan. Mengingat posisi geografisnya, kawasan Indonesia paling ideal untuk berkembangnya angin musim. Pada Musim Barat, ketika angin berhembus dari Asia ke Australia, para pelaut menaikkan layar meninggalkan pelabuhan di Jawa menuju Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Kemudian mereka kembali ke pangkalannya dengan memanfatkan angin Musim Timur (Nontji,1987). Di beberapa tempat, disebutkan pula nama lain untuk istilah angin Musim Timur, seperti “angin pedewakang” di daerah Riau (Kepulauan) karena pada masa itulah mereka melihat iring-iringan ”pedewakang” (bentuk yang “lebih tua” dari perahu pinisi ) membanjiri kawasan perairan sekitarnya menuju ke Singapura.
[3]. Cadik atau katir adalah potongan/batang bambu atau kayu yang dipasang di kiri kanan perahu serupa dengan sayap sebagai alat pengatur keseimbangan agar tidak mudah terbalik.
[4]. Besarnya arus migrasi berkaitan dengan kesulitan mengatasi penghalang antara. Hipotesis ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Lee (1995), memperlihatkan bahwa salah satu pertimbangan dalam mengambil keputusan bermigrasi adalah adanya penghalang antara, sehingga – misalnya – ketika pada abad ke-17 dan ke-18 pelayaran ke Amerika masih merupakan pekerjaan yang berbahaya dan tidak mudah dikerjakan, arus migrasi sedikit sekali. Sebaliknya, contoh lain dalam sejarah membuktikan bahwa dengan terhapusnya penghalang-penghalang tersebut memunculkan arus-arus migrasi. Sehingga tidak mengherankan apabila perkembangan teknologi pembangunan perahu dan pengetahuan navigasi pada sebagian bangsa berbahasa Austronesia di Asia Tenggara, merupakan sarana mengatasi kesulitan yang melahirkan arus-arus migrasi berikut kebudayaan pada masanya.
[5]. Neolitik adalah fase atau tingkat kebudayaan dalam zaman prasejarah yang mempunyai ciri berupa unsur kebudayaan, seperti peralatan yang terbuat dari batu yang telah diupam, pertanian menetap, dan pembuatan tembikar/gerabah.
[6]. Peledang (ahli pembuatnya disebut atamole) digunakan oleh kelompok masyarakat di Lamalera, Pulau Lembata (dahulu disebut Pulau Lomblen) yang masih melakukan aktivitas penangkapan ikan-ikan besar seperti ikan paus, pari, dan ikan hiu pada musim tertentu di perairan Laut Flores. Musim tersebut disebut sebagai musim lefa. Kegiatan perburuan didahului dengan proses ritual (upacara olanua) bagi pemberkatan peralatan dan seluruh anggota masyarakat. Aktivitas dilakukan dengan menggunakan peralatan tradisional berupa peledang (perahu) berbahan kayu, layar, tali (berbahan benang kapas, daun gebang, dan serat kulit pohon waru), kafe (tempuling atau harpoon), faye (alat untuk mendayung), dan sebagainya. Lamafa (juru tikam di laut) adalah sosok penting yang menentukan obyek yang hendak ditombak/diburu, yang dihubungkan dengan upaya pelestarian binatang buruan. Menyangkut hasil penangkapan/perburuan itu, para janda, yatim-piatu, dan fakir miskin mendapat prioritas untuk menikmatinya.
Tradisi ini tampaknya memang telah berlangsung lama, dan itu dapat dihubungkan dengan dijumpainya obyek arkeologis berupa lukisan perahu dan manusia di permukaan bongkah batu andesit di Lamagute yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari garis pantai Laut Flores. Perahu digambarkan dengan tiga tiang layar dan dilengkapi 5 buah dayung. Bagian buritannya sudah tidak jelas tergambarkan. Panjang lukisan perahu 60 cm, lebar 13 cm dengan panjang layar 53 cm, lebar layar 22 cm, dan tinggi tiang layar 30 cm, yang tertera pada bongkah batu andesit berukuran tinggi 3 meter dan lebar 3,5 meter (Atmosudiro,1984).
Kepustakaan
Atmosudiro, Sumijati, 1984. Lukisan Manusia di Pulau Lomblen (Tambahan Data Hasil Seni Bercorak Praejarah), dalam Berkala Arkeologi V(1). Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, hal. 1–8
Batchelor, BC, 1977. Post “Hoabinhian” coastal settlement indicated by finds in stanniferous Langat River alluvium near Dengkil, Selangor, Peninsular Malaysia, dalam Federation Museums Journal, 22, hal. 1–55
Bellwood, P, 1985. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Sydney, London: Academic Press
Boechari, 1986. New investigation the Kedukan Bukit inscription, dalam Untuk Bapak Guru. Jakarta: Puslit Arkenas, hal. 3–56
Coedes, G, 1930. Les inscriptions malaises de Criwijaya, dalam Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 30, hal. 29–80
Dunn, FL, 1975. Rain-forest collectors and traders. A study of resource utilisation in modern and ancient Malaya, dalam Monographs of the Malaysian Branch Royal Asiatic Society No. 5
Dunn, FL & DF Dunn, 1984. Maritime Adaptations and Exploitation of Marine Resource in Sundaic Southeast Asian Preshistory, dalam Pieter Van De Velde (ed.), Prehistoric Indonesia A Reader. Dordrecht, Cinnaminson: Foris Publications, hal. 243–272
Glover, IC, 1979. The Late Prehistoric Period in Indonesia, dalam RB Smith & W Watson (eds.), Early South East Asia: Essays in Archaeology, History and Historical Geography. New York, Kuala Lumpur: Oxford University Press, hal. 167—184
Hall, DGE, 1988. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional
Heekeren, HR van, 1958. The Bronze-Iron Age of Indonesia. ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff
Hornell, James, 1946. Watertransport, Origins and Early Evolution. Cambridge: Cambridge University Press
Koestoro, Lucas Partanda, 1993. Tinggalan Perahu di Sumatera Selatan: Perahu Sriwijaya ?, dalam Mindra Faizaliskandiar et al (eds.), Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi Dan Sejarah. Palembang: Pemda Dati I Sumatera Selatan
——————-,1995. Penempatan Situs-situs Bangkai Perahu Indonesia Dalam Sejarah Teknik Pembangunan Perahu di Asia Tenggara, dalam Hariani Santiko et al (des.), Kirana: Persembahan untuk Prof. DR. Haryati Soebadio. Jakarta: Intermasa, hal. 203–216
Lambert, David, 1987. Guide De L”Homme Prehistorique. Paris: Librairie Larousse
Lee, Everett S, 1995. Teori Migrasi (diterjemahkan oleh Hans Daeng). Yogykarta: Pusat Penelitian Kependudukan
Leur, van JC, 1955. Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social and Economic History. Bandung: W van Hoeve Ltd.
Lopa, Baharuddin, 1982. Hukum Laut, Pelayaran, dan Perniagaan. Bandung: Alumni
Manguin, Pierre-Yves, 1985. Sewn-plank Craft of Southeast Asia. A preliminary Survey, dalam S McGrail & E Kentley (eds.) Sewn Planked Boats. Oxford: National Maritime Museum, hal. 319–343
——————-, 1989. The trading ships of Insular Southeast Asia: new evidence from Indonesian archaeological sites, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta, Vol. I. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, hal. 200–220
Manguin, Pierre-Yves & Nurhadi, 1987. Perahu karam di situs Bukit Jakas, Propinsi Riau. Sebuah laporan sementara, dalam 10 Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 43–64
Nontji, Anugerah, 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan
Nooteboom, C, 1972. Sumatera dan Pelajaran di Samudera Hindia (diterjemahkan oleh PS Kusumo Sutojo). Djakarta: Bhratara
Peacock, BAV, 1965. The drums of Kampong Sungai Lang, dalam Malaya in History, 10 (1)
Renfrew, Colin & Paul Bahn, 1991. Archaeology Theories, Methods, And Practise. London: Thames and Hudson
Selling, Eleanor, 1981. The Evolution of Trading State in Southeast Asia Before the 17th Century. Disertasi pada Columbia University
Wolters, OW, 1967. Early Indonesian Commerce. New York, Ithaca: Cornel University Press
Atmosudiro, Sumijati, 1984. Lukisan Manusia di Pulau Lomblen (Tambahan Data Hasil Seni Bercorak Praejarah), dalam Berkala Arkeologi V(1). Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, hal. 1–8
Batchelor, BC, 1977. Post “Hoabinhian” coastal settlement indicated by finds in stanniferous Langat River alluvium near Dengkil, Selangor, Peninsular Malaysia, dalam Federation Museums Journal, 22, hal. 1–55
Bellwood, P, 1985. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Sydney, London: Academic Press
Boechari, 1986. New investigation the Kedukan Bukit inscription, dalam Untuk Bapak Guru. Jakarta: Puslit Arkenas, hal. 3–56
Coedes, G, 1930. Les inscriptions malaises de Criwijaya, dalam Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 30, hal. 29–80
Dunn, FL, 1975. Rain-forest collectors and traders. A study of resource utilisation in modern and ancient Malaya, dalam Monographs of the Malaysian Branch Royal Asiatic Society No. 5
Dunn, FL & DF Dunn, 1984. Maritime Adaptations and Exploitation of Marine Resource in Sundaic Southeast Asian Preshistory, dalam Pieter Van De Velde (ed.), Prehistoric Indonesia A Reader. Dordrecht, Cinnaminson: Foris Publications, hal. 243–272
Glover, IC, 1979. The Late Prehistoric Period in Indonesia, dalam RB Smith & W Watson (eds.), Early South East Asia: Essays in Archaeology, History and Historical Geography. New York, Kuala Lumpur: Oxford University Press, hal. 167—184
Hall, DGE, 1988. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional
Heekeren, HR van, 1958. The Bronze-Iron Age of Indonesia. ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff
Hornell, James, 1946. Watertransport, Origins and Early Evolution. Cambridge: Cambridge University Press
Koestoro, Lucas Partanda, 1993. Tinggalan Perahu di Sumatera Selatan: Perahu Sriwijaya ?, dalam Mindra Faizaliskandiar et al (eds.), Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi Dan Sejarah. Palembang: Pemda Dati I Sumatera Selatan
——————-,1995. Penempatan Situs-situs Bangkai Perahu Indonesia Dalam Sejarah Teknik Pembangunan Perahu di Asia Tenggara, dalam Hariani Santiko et al (des.), Kirana: Persembahan untuk Prof. DR. Haryati Soebadio. Jakarta: Intermasa, hal. 203–216
Lambert, David, 1987. Guide De L”Homme Prehistorique. Paris: Librairie Larousse
Lee, Everett S, 1995. Teori Migrasi (diterjemahkan oleh Hans Daeng). Yogykarta: Pusat Penelitian Kependudukan
Leur, van JC, 1955. Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social and Economic History. Bandung: W van Hoeve Ltd.
Lopa, Baharuddin, 1982. Hukum Laut, Pelayaran, dan Perniagaan. Bandung: Alumni
Manguin, Pierre-Yves, 1985. Sewn-plank Craft of Southeast Asia. A preliminary Survey, dalam S McGrail & E Kentley (eds.) Sewn Planked Boats. Oxford: National Maritime Museum, hal. 319–343
——————-, 1989. The trading ships of Insular Southeast Asia: new evidence from Indonesian archaeological sites, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta, Vol. I. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, hal. 200–220
Manguin, Pierre-Yves & Nurhadi, 1987. Perahu karam di situs Bukit Jakas, Propinsi Riau. Sebuah laporan sementara, dalam 10 Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 43–64
Nontji, Anugerah, 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan
Nooteboom, C, 1972. Sumatera dan Pelajaran di Samudera Hindia (diterjemahkan oleh PS Kusumo Sutojo). Djakarta: Bhratara
Peacock, BAV, 1965. The drums of Kampong Sungai Lang, dalam Malaya in History, 10 (1)
Renfrew, Colin & Paul Bahn, 1991. Archaeology Theories, Methods, And Practise. London: Thames and Hudson
Selling, Eleanor, 1981. The Evolution of Trading State in Southeast Asia Before the 17th Century. Disertasi pada Columbia University
Wolters, OW, 1967. Early Indonesian Commerce. New York, Ithaca: Cornel University Press
Oleh: Lucas Partanda Koestoro*
*Penulis merupakan Peneliti Balai Arkeologi Medan | Sumber tulisan: balarmedan.wordpress.com
https://wacananusantara.wordpress.com/2015/07/18/arkeologi-dan-pengenalan-prasejarah-perahu-nusantara/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar