Minggu, 20 Desember 2015

KERAJAAN SELAPRANG LOMBOK NTB

Kerajaan Selaparang merupakan salah satu kerajaan yang pernah ada di Pulau Lombok. Pada masa lampau pusat kerajaan ini berada di Selaparang (sering pula diucapkan dengan Seleparang). Secara letak administratif saat ini berada di desa Selaparang, kecamatan Swela, Lombok Timur.
Minim sekali yang dapat diketahui tentang sejarah Kerajaan Selaparang. Terutama mengenai awal mula berdirinya. Meski demikian, terdapat beberapa sumber yang bisa ditelusuri. Salah satunya adalah kisah yang tercatat dalam daun Lontar yang menyebutkan bahwa berdirinya Kerajaan Selaparang tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sejarah masuknya atau proses penyebaran agama Islam di Pulau Lombok.
Di dalam daun Lontar tersebut dikatakan bahwa agama Islam salah satunya (bukan satu-satunya), pertama kali dibawa dan disebarkan oleh seorang mubaligh dari kota Bagdad, Iraq. Ia bernama Syaikh Sayyid Nururrasyid Ibnu Hajar al-Haitami. Masyarakat Pulau Lombok secara turun-temurun lebih mengenal beliau dengan sebutan Ghaos Abdul Razak. Nah, beliau inilah, selain sebagai penyebar agama Islam, dipercaya juga sebagai cikal bakal Sultan-Sultan dari kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Lombok. Namun selain beliau, Betara Tunggul Nala (disebut pula Nala Segara) diyakini pula sebagai leluhur Sultan-Sultan di Pulau Lombok.




Tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya Ghaos Abdul Razak masuk ke Pulau Lombok. Namun, pendapat terkuat menyebutkan bahwa beliau datang ke Pulau Lombok untuk pertama kalinya sekitar tahun 600-an Hijriah atau abad ke-13 Masehi (antara tahun 1201 hingga 1300 Masehi). Ghaos Abdul Razak mendarat di Lombok bagian utara yang disebut dengan Bayan. Beliau pun menetap dan berdakwah di sana. Beliau kemudian menikah dan memiliki tiga orang anak, yakni; Sayyid Umar, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Gunung Pujut; Sayyid Amir, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Pejanggik; dan Syarifah Qomariah atau yang lebih terkenal dengan sebutan Dewi Anjani.
Kemudian Ghaos Abdul Razak menikah lagi dengan seorang putri dari Kerajaan Sasak yang melahirkan dua orang anak, yakni; seorang putra bernama Sayyid Zulqarnain (dikenal juga dengan sebutan Syaikh ‘Abdul Rahman) atau disebut pula dengan Ghaos Abdul Rahman; dan seorang putri bernama Syarifah Lathifah yang dijuluki pula dengan Denda Rabi’ah. Sayyid Zulqarnain inilah yang kemudian mendirikan Kerajaan Selaparang sekaligus pula sebagai Datu (raja) pertama dengan gelar Datu Selaparang atau Sulthan Rinjani.
Nah, sampai di sini sudah terdapat dua versi, yakni antara Nala Segara (Betara Tunggul Nala) dan Ghaos Abdul Razak. Keduanya sama-sama dipercaya sebagai penyebar agama Islam. Kemudian diyakini menjadi cikal bakal Sultan-Sultan Lombok dan pendiri Kerajaan Selaparang. Pertanyaan yang agak menggelitik kemudian adalah: Mungkinkah keduanya adalah satu orang yang sama? Mungkinkah yang dimaksud sebagai Nala Segara itu adalah Ghaos Abdul Razak, dan Wali Nyatok adalah Ghaos Abdul Rahman. Hal itu masih dimungkinkan. Mengingat pada masa dahulu seorang tokoh seringkali menggunakan nama-nama berbeda di tempat yang berbeda.
Kejayaan Selaparang
Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat maupun di laut. Laskar lautnya telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah mereka sekitar tahun 1667-1668 Masehi. Namun demikian, Kerajaan Selaparang harus merelakan salah satu wilayahnya jatuh ke tangan Belanda, yakni Pulau Sumbawa, karena lebih dahulu direbut sebelum terjadi peperangan di laut.
Di samping itu, laskar lautnya juga pernah mematahkan serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel (Bali) dari arah barat. Selaparang pernah dua kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624 Masehi. Akan tetapi dalam dua kesempatan pertempuran tersebut, tentara Gelgel dapat dikalahkan dan menjadi tawanan dengan jumlah yang cukup besar.
Setelah pertempuran sengit tersebut, Kerajaan Selaparang mulai menerapkan kebijaksanaan baru untuk membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka, pusat pemerintahan kerajaan kemudian dipindahkan agak ke pedalaman, ke sebuah dataran perbukitan, tepat di desa Selaparang sekarang ini. Dari wilayah kota yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa; dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian, semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ibukota Kerajaan Selaparang juga memiliki daerah bagian belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi. Bertingkat-tingkat hingga ke hutan Lemor yang memiliki sumber mata air yang melimpah.
Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang mengalami kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan, Kerajaan Selaparang dapat mengembangkan kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Disebutkan pula bahwa seorang raja muda bernama Sri Dadelanatha, dilantik dengan gelar Dewa Meraja di Sumbawa Barat karena saat itu (1630 Masehi) daerah ini juga masih termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu sekitar tanggal 30 November 1648 Masehi, putera mahkota Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dengan gelar Pemban Aji Komala, dilantik di Sumbawa menjadi Sultan Selaparang yang memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.
Keruntuhan Selaparang
Sekalipun Selaparang unggul saat melawan kekuatan tetangga, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari bagian barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Pulau Bali) secara bergelombang, dan selanjutnya mendirikan koloni di kawasan kota Mataram sekarang ini.
Kekuatan itu kemudian secara berangsur-angsur tumbuh dan berkembang sehingga menjelma menjadi kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan yang berdiri sekitar tahun 1622 Masehi. Kerajaan ini berdiri lima tahun setelah serangan laut pertama Kerajaan Gelgel dari Bali Utara atau dua tahun sebelum serangan ke dua yang dapat ditumpas oleh laskar Kerajaan Selaparang.
Namun, bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba adalah kekuatan asing, yakni Belanda, yang tentunya sewaktu-waktu dapat melakukan ekspansi militer. Kekuatan dan tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Oleh sebab itu, sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan laskar kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.
Segala upaya dilakukan untuk mengatasi masalah yang baru tumbuh dari bagian barat; yakni Kerajaan Gelgel, Kerajaan Mataram Karang Asem, serta gangguan keamana dari bangsa asing, terutama Belanda. Namun secara tiba-tiba saja, salah seorang tokoh penting di lingkungan pusat kerajaan bernama Arya Banjar Getas memutuskan untuk pergi. Kepergiannya ditenggarai perselisihan paham dengan raja Kerajaan Selaparang soal posisi pasti perbatasan antara wilayah Kerajaan Selaparang dan Pejanggik.
Akibat dari perselisihan tersebut, akhirnya Arya Banjar Getas beserta para pengikutnya memutuskan untuk meninggalkan Selaparang dan bergabung dengan sebuah ekspedisi tentara Kerajaan Mataram Karang Asem (Bali). Pada saat itu mereka sudah berhasil mendarat di Lombok Barat. Kemudian atas segala taktiknya, Arya Banjar Getas menyusun rencana dengan pihak Kerajaan Mataram Karang Asem untuk bersama-sama menggempur Kerajaan Selaparang. Pada akhirnya, ekspedisi militer tersebut telah berhasil menaklukkan Kerajaan Selaparang. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1672 Masehi.
Kerajaan Selaparang. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Selaparang) dan beberapa sumber lainnya

Tidak ada komentar: