Kerajaan
Selaparang merupakan salah satu kerajaan yang pernah ada di Pulau
Lombok. Pada masa lampau pusat kerajaan ini berada di Selaparang (sering
pula diucapkan dengan Seleparang). Secara letak administratif saat ini
berada di desa Selaparang, kecamatan Swela, Lombok Timur.
Minim sekali yang dapat diketahui tentang
sejarah Kerajaan Selaparang. Terutama mengenai awal mula berdirinya.
Meski demikian, terdapat beberapa sumber yang bisa ditelusuri. Salah
satunya adalah kisah yang tercatat dalam daun Lontar yang menyebutkan
bahwa berdirinya Kerajaan Selaparang tidak akan pernah bisa dilepaskan
dari sejarah masuknya atau proses penyebaran agama Islam di Pulau
Lombok.
Di dalam daun Lontar tersebut dikatakan
bahwa agama Islam salah satunya (bukan satu-satunya), pertama kali
dibawa dan disebarkan oleh seorang mubaligh dari kota Bagdad, Iraq. Ia
bernama Syaikh Sayyid Nururrasyid Ibnu Hajar al-Haitami. Masyarakat
Pulau Lombok secara turun-temurun lebih mengenal beliau dengan sebutan
Ghaos Abdul Razak. Nah, beliau inilah, selain sebagai penyebar agama
Islam, dipercaya juga sebagai cikal bakal Sultan-Sultan dari
kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Lombok. Namun selain beliau, Betara
Tunggul Nala (disebut pula Nala Segara) diyakini pula sebagai leluhur
Sultan-Sultan di Pulau Lombok.
Tidak diketahui secara pasti kapan
tepatnya Ghaos Abdul Razak masuk ke Pulau Lombok. Namun, pendapat
terkuat menyebutkan bahwa beliau datang ke Pulau Lombok untuk pertama
kalinya sekitar tahun 600-an Hijriah atau abad ke-13 Masehi (antara
tahun 1201 hingga 1300 Masehi). Ghaos Abdul Razak mendarat di Lombok
bagian utara yang disebut dengan Bayan. Beliau pun menetap dan berdakwah
di sana. Beliau kemudian menikah dan memiliki tiga orang anak, yakni;
Sayyid Umar, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Gunung Pujut; Sayyid
Amir, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Pejanggik; dan Syarifah
Qomariah atau yang lebih terkenal dengan sebutan Dewi Anjani.
Kemudian Ghaos Abdul Razak menikah lagi
dengan seorang putri dari Kerajaan Sasak yang melahirkan dua orang anak,
yakni; seorang putra bernama Sayyid Zulqarnain (dikenal juga dengan
sebutan Syaikh ‘Abdul Rahman) atau disebut pula dengan Ghaos Abdul
Rahman; dan seorang putri bernama Syarifah Lathifah yang dijuluki pula
dengan Denda Rabi’ah. Sayyid Zulqarnain inilah yang kemudian mendirikan
Kerajaan Selaparang sekaligus pula sebagai Datu (raja) pertama dengan
gelar Datu Selaparang atau Sulthan Rinjani.
Nah, sampai di sini sudah terdapat dua
versi, yakni antara Nala Segara (Betara Tunggul Nala) dan Ghaos Abdul
Razak. Keduanya sama-sama dipercaya sebagai penyebar agama Islam.
Kemudian diyakini menjadi cikal bakal Sultan-Sultan Lombok dan pendiri
Kerajaan Selaparang. Pertanyaan yang agak menggelitik kemudian adalah:
Mungkinkah keduanya adalah satu orang yang sama? Mungkinkah yang
dimaksud sebagai Nala Segara itu adalah Ghaos Abdul Razak, dan Wali
Nyatok adalah Ghaos Abdul Rahman. Hal itu masih dimungkinkan. Mengingat
pada masa dahulu seorang tokoh seringkali menggunakan nama-nama berbeda
di tempat yang berbeda.
Kejayaan Selaparang
Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan
yang tangguh, baik di darat maupun di laut. Laskar lautnya telah
berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah mereka sekitar
tahun 1667-1668 Masehi. Namun demikian, Kerajaan Selaparang harus
merelakan salah satu wilayahnya jatuh ke tangan Belanda, yakni Pulau
Sumbawa, karena lebih dahulu direbut sebelum terjadi peperangan di laut.
Di samping itu, laskar lautnya juga
pernah mematahkan serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel (Bali)
dari arah barat. Selaparang pernah dua kali terlibat dalam pertempuran
sengit melawan Kerajaan Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624
Masehi. Akan tetapi dalam dua kesempatan pertempuran tersebut, tentara
Gelgel dapat dikalahkan dan menjadi tawanan dengan jumlah yang cukup
besar.
Setelah pertempuran sengit tersebut,
Kerajaan Selaparang mulai menerapkan kebijaksanaan baru untuk membangun
kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka, pusat pemerintahan
kerajaan kemudian dipindahkan agak ke pedalaman, ke sebuah dataran
perbukitan, tepat di desa Selaparang sekarang ini. Dari wilayah kota
yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati
dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa; dari ujung utara ke selatan
dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian, semua gerakan yang
mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah
ibukota Kerajaan Selaparang juga memiliki daerah bagian belakang berupa
bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi. Bertingkat-tingkat
hingga ke hutan Lemor yang memiliki sumber mata air yang melimpah.
Berbagai sumber menyebutkan, bahwa
setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang mengalami kemajuan pesat.
Sebuah sumber mengungkapkan, Kerajaan Selaparang dapat mengembangkan
kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Disebutkan pula bahwa seorang raja
muda bernama Sri Dadelanatha, dilantik dengan gelar Dewa Meraja di
Sumbawa Barat karena saat itu (1630 Masehi) daerah ini juga masih
termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian
dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu sekitar tanggal 30 November
1648 Masehi, putera mahkota Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dengan
gelar Pemban Aji Komala, dilantik di Sumbawa menjadi Sultan Selaparang
yang memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.
Keruntuhan Selaparang
Sekalipun Selaparang unggul saat melawan
kekuatan tetangga, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang
bersamaan, suatu kekuatan baru dari bagian barat telah muncul pula.
Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan
datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Pulau Bali) secara
bergelombang, dan selanjutnya mendirikan koloni di kawasan kota Mataram
sekarang ini.
Kekuatan itu kemudian secara
berangsur-angsur tumbuh dan berkembang sehingga menjelma menjadi
kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan yang berdiri
sekitar tahun 1622 Masehi. Kerajaan ini berdiri lima tahun setelah
serangan laut pertama Kerajaan Gelgel dari Bali Utara atau dua tahun
sebelum serangan ke dua yang dapat ditumpas oleh laskar Kerajaan
Selaparang.
Namun, bahaya yang dinilai menjadi
ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba adalah kekuatan
asing, yakni Belanda, yang tentunya sewaktu-waktu dapat melakukan
ekspansi militer. Kekuatan dan tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel
yang demikian kuat mampu dipatahkan. Oleh sebab itu, sebelum kerajaan
yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya
diantisipasi dengan menempatkan laskar kecil di bawah pimpinan
Patinglaga Deneq Wirabangsa.
Segala upaya dilakukan untuk mengatasi
masalah yang baru tumbuh dari bagian barat; yakni Kerajaan Gelgel,
Kerajaan Mataram Karang Asem, serta gangguan keamana dari bangsa asing,
terutama Belanda. Namun secara tiba-tiba saja, salah seorang tokoh
penting di lingkungan pusat kerajaan bernama Arya Banjar Getas
memutuskan untuk pergi. Kepergiannya ditenggarai perselisihan paham
dengan raja Kerajaan Selaparang soal posisi pasti perbatasan antara
wilayah Kerajaan Selaparang dan Pejanggik.
Akibat dari perselisihan tersebut,
akhirnya Arya Banjar Getas beserta para pengikutnya memutuskan untuk
meninggalkan Selaparang dan bergabung dengan sebuah ekspedisi tentara
Kerajaan Mataram Karang Asem (Bali). Pada saat itu mereka sudah berhasil
mendarat di Lombok Barat. Kemudian atas segala taktiknya, Arya Banjar
Getas menyusun rencana dengan pihak Kerajaan Mataram Karang Asem untuk
bersama-sama menggempur Kerajaan Selaparang. Pada akhirnya, ekspedisi
militer tersebut telah berhasil menaklukkan Kerajaan Selaparang.
Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1672 Masehi.
Kerajaan Selaparang. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Selaparang) dan beberapa sumber lainnya