Kerajaan Banggai- Menelusuri Jejak Kerajaan Banggai
Wilayah Kerajaan Banggai saat ini
mencakup Kabupaten Banggai Kepulauan dan atau Kabupaten Banggai,
Provinsi Sulawesi Tengah. Menurut buku Babad Banggai Sepintas Kilas,
kerajaan ini diperkirakan berdiri pada 1525. Jika merujuk kepada
Nagarakretagama karangan Mpu Prapanca yang bertarikh 1278 Saka (1365 M),
Prapanca menyebut sebuah tempat bernama Banggawi.
“Ikang Saka Nusa-Nusa Mangkasara, Buntun
Benggawi, Kuni, Galiayo, Murang Ling Salayah, Sumba, Solor, Munar, Muah,
Tikang, I Wandleha, Athawa Maloko, Wiwawunri Serani Timur Mukadi
Ningagaku Nusantara”.
Untuk saat ini, masih cukup sulit
menulisan sejarah Kerajaan Banggai sebelum abad ke-14. Apakah Banggawi
yang dibicarakan Prapanca itu Banggai, atau lebih jauh lagi apakah
Prapanca itu menyebut Banggawi sebagai sebuah kerajaan atau hanya nama
tempat?
Banggai dipercaya telah menjadi kerajaan
sebelum abad ke-14, informasi tersebut oleh beberapa pihak —selain
dihubungkan dengan pernyataan Prapanca dalam Nagarakrtagama— juga kerap
dihubungkan dengan kronik Cina karya Chu Ku fei (1178 M) yang dalam
bukunya berjudul Ling-wai, menulis bahwa kerajaan Banggai merupakan
kerajaan kecil yang masuk dalam sebelas wilayah Kerajaan Kediri
(Panjalu, 1041 M), dengan nama Ping ye = Banggai, meliputi kerajaan
kecil pertama, Pai Hua yuan = Pacitan, kedua Me tung = Medang, ketiga Ta
pen = Tumapel, keempat Jung ya lu = Hujung Galu, kelima Ta kang =
Sumba, keenam Huang ma chu = Irian Barat daya, ketujuh Ma li = Bali,
kedelapan Khu lun = Gurun Lombok, kesembilan Ti wu = Timor, kesepuluh
Ping ye = Banggai dan kesebelas Wa nu ku = Maluku.
Dalam khasanah masyarakat Banggai
sendiri, sumber untuk mengungkap cerita ini bisa ditemukan dari tradisi
lisan mereka atau dari balelee, yakni cerita yang disampaikan dengan
cara bernyanyi oleh seseorang yang dinilai “kemasukan” roh halus.
Bagaimanapun hasil temuan kita sekarang,
penulisan sejarah untuk kerajaan Banggai —dan umumnya untuk penulisan
sejarah kuna Indonesia— seharusnya tidak berada dalam posisi final,
masih banyak data dan fakta yang bisa berkembang seiring bukti baru yang
kelak ditemukan.
Sejarah Kerajaan Banggai
Konon, nama Banggai dahulu bernama “Tano
Bolukan”. Tano Bolukan merupakan suatu kerajaan tertua di daerah Banggai
Kepulauan yang merupakan hasil penggabungan kerajaan-kerajaan kecil.
Syarif (2008) yang menulis tentang sejarah kerajaan Banggai dalam
bukunya “Sekilas Tentang Kerajaan Banggai” memberi gambaran tentang
empat kerajaan ini. Bahwa di wilayah kekuasaan kerajaan Banggai berdiri
empat kerajaan yang memiliki wilayah yang berdaulat atas wilayahnya;
Babulau + 5 km dari desa Tolise Tubuno, Kokini berkedudukan di desa
Lambako, Katapean berkedudukan di desa Sasaba + 5 km. Monsongan dan
Singgolok berkedudukan di Bungkuko Tatandak+ 7 km dari desa Gonggong.
Keempat kerajaan tersebut dipimpin oleh
sekumpulan pemimpin yang di sebut dengan “Basalo Sangkap” (Empat Besar)
yang pada masa Kerajaan Banggai mereka selanjutnya berfungsi sebagai
Dewan Kerajaan. Basalo Sangkap inilah orang-orang Tano Bolukan, atau
orang-orang Banggai menamakan dan menganggap mereka itu “Tano Bukuno”
atau “Tano Tumbuno” artinya yang mempunyai tanah atau orang Banggai
asli.
Sementara itu Setyo Utomo-Jaya Marhum
(1995:25) dalam bukunya “Selayang Pandang Kabupaten Banggai” menyatakan
pada awalnya daerah yang sekarang dikenal sebagai kabupaten daerah
tingkat II tingkat Banggai banyak berdiri kerajaan. Satu dari sekian
kerajaan itu, yang tertua bernama kerajaan bersaudara Buko-Bulagi. Letak
kerajaan itu di Pulau Peling (Peleng) belahan barat. Belakangan muncul
pula kerajaan-kerajaan baru seperti, kerajaan Sisipan, kerajaan
Liputomundo, Kadupang. Kesemuanya ada di pulau Peling tengah. Masa
itupun telah berdiri kerajaan yang cukup besar yakni Bongganan di
sebelah timur Peling. Upaya memekarkan kerajaan Bongganan dilakukan
salah seorang pangeran dan beberapa bangsawan kerajaan Banggai. Kala itu
kerajaan Banggai wilayahnya hanya meliputi pulau Banggai.
Di Banggai Darat pada masa itu berdiri
pula kerajaan Bualemo di sebelah utara. Di bagian selatan, ada kerajaan
tiga bersaudara Motiandok, Balalowa, di tambah satu kerajaan lagi
bernama Gori-Gori di bagian paling selatan. Perkembangan kerajaan
Banggai yang terpusat di pulau Banggai, mulai pesat dan menjadi Primus
Inter Peres atau yang utama dari beberapa kerajaan yang ada. Ketika
pemerintahan kerajaan Banggai masih berada di bawah pimpinan kesultanan
Ternate akhir abad 16.
H. S. Padeatu (2005:28) dalam bukunya
“Sepintas Kilas Sejarah Banggai” juga mengatakan di Banggai kepulauan
terdapat beberapa kerajaan kecil yaitu kerajaan Buko (di kecamatan Buko
sekarang), Bulagi, Peling, dan Saluap (di kecamatan Bulagi sekrang),
Lipotomundo, Kadupang dan Sisipan (di kecamatan Liang sekarang),
Bonggananan (di kecamtan Tinakung dan kecamatan Totikum sekarang) dan
Banggai (kecamatan Banggai, kecamatan Bangkurung dan kecamatan Labobo
sekarang).
Semua yang berada di kerajaan-kerajaan
tersebut adalah penduduk asli yang mengunakan bahasa Aki (bahasa
Banggai, artinya: Tidak). Kerajaan yang terkenal dari semua kerajaan
itu, termasuk kerajaan Tompotikka di Banggai Darat dan kerajaan
Bongganan di Banggai kepulauan, ialah kerajaan Banggai di Banggai
kepulauan. Bahkan, sampai saat ini nama “Banggai“ masih tetap di pakai
sebagai nama dan kabupaten yaitu kabupaten Banggai dan kabupaten
kepulauan.
Sistem pemerintahan Kerajaan Banggai
Pengaruh Islam ke kerajaan-kerajaan di
Sulawesi sangat terasa pada abad ke 16. Penyebaran Islam di Sulawesi
khususnya di Sulawesi Tengah ini merupakan hasil dari ekspansi
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Pengaruh yang mula-mula datang
adalah dari Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo. Dengan meluasnya pengaruh
Sulawesi Selatan, menyebar pula agama Islam. Daerah-daerah yang diwarnai
Islam pertama kali adalah daerah pesisir.
Tome Pires dalam bukunya yang berjudul
Suma Oriental mengatakan bahwa di zamannya itu sebagian besar raja-raja
yang ada Nusantara sudah beragama Islam, akan tetapi masih tetap ada
daerah-daerah atau negeri yang belum menganut agama Isalam di Nusantara.
Penyebaran agama Islam di lakukan di daerah-daerah pesisir pantai para
pedangang- pedangang muslim dari Gujarat (Persia) dan para pedangang
tersebut menikah dengan masyarakat setempat dan terjadilah percampuran
kepercayaan. Selanjutnya di Indonesia bagian timur agama Islam tiba dan
berkembang di “kepulaun rempah-rempah” Maluku Indonesia Timur. Para
pedangang muslim dari Jawa dan Melayu menetap di pesisir Banda, tetapi
tidak ada seorang raja pun disana, dan daerah pedalaman masih di huni
oleh penduduk nonmuslim. Ternate, Tidore, dan Bacan mempunyai raja-raja
muslim. Penguasa-penguasa Tidore dan Bacan memekai gelar “Raja”, tetapi
penguasa Ternate telah menggunakan gelar “Sultan”, dan raja Tidore
bernama Arab, al-Mansur.
Pengaruh Sulawesi Selatan begitu kuat
terhadap Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tengah, bahkan sampai pada tata
pemerintahan. Struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah
akhirnya terbagi dua, yaitu, yang berbentuk Pitunggota dan lainnya
berbentuk Patanggota.
Pitunggota adalah suatu lembaga
legislatif yang terdiri dari tujuh anggota dan diketuai oleh seorang
Baligau. Struktur pemerintahan ini mengikuti susunan pemerintahan ala
Bone dan terdapat di Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi. Struktur
lainnya, yaitu, Patanggota, merupakan pemerintahan ala Wajo dan dianut
oleh Kerajaan Palu dan Kerajaan Tawaeli. Patanggota Tawaeli terdiri dari
Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan Baiya.
Pangaruh lainnya adalah datang dari
Mandar. Kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini adalah cikal bakalnya berasal
dari Mandar. Pengaruh Mandar lainnya adalah dengan dipakainya istilah
raja. Sebelum pengaruh ini masuk, di Teluk Tomini hanya dikenal gelar
Olongian atau tuan-tuan tanah yang secara otonom menguasai wilayahnya
masing-masing. Selain pengaruh Mandar, kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini
juga dipengaruhi Gorontalo dan Ternate. Hal ini terlihat dalam struktur
pemerintahannya yang sedikit banyak mengikuti struktur pemerintahan di
Gorontalo dan Ternate tersebut. Struktur pemerintahan tersebut terdiri
dari Olongian (kepala negara), Jogugu (perdana menteri), Kapitan Laut
(Menteri Pertahanan), Walaapulu (menteri keuangan), Ukum (menteri
perhubungan), dan Madinu (menteri penerangan).
Untuk urusan pemerintahan di Kerajaan
Banggai, di pegang langsung oleh seorang Raja atau Tomundo atau Tuutuu.
Raja di pilih dan di angkat oleh Basalo Sangkap (Dewan Kerajaan)
langsung dari keturunan atau sekurang-kurangnya ada ikatan hubungan
keluarga dengan raja. Selain itu, Basalo Sangkap juga memperhatikan
kecakapan dan kesanggupan untuk memimpin. Basalo Sangkap menjadi seperti
lembaga legislatif yang kemudian bertugas memilih, melantik, dan
memberhentikan raja Banggai. Basalo Sangkap dengan kedudukan sebagai
lembaga tinggi sejajar dengan Tomundo (Raja). Basalo Sangkap membidangi
urusan Legislatif dan penasihat Tomundo. Sedangkan Tomundo membidangi
urusan Eksekutif / pemerintahan kerajaan.
Adapun Dewan Kerajaan (Basalo Sangkap) yaitu terdiri dari:
Raja Singgolok atau Basalo Gong-gong.
Raja Katapean atau Basalo Monsongan.
Raja Boobulau atau Raja Dodung.
Raja Kokini atau Basalo Tano Bonunungan.
Raja Katapean atau Basalo Monsongan.
Raja Boobulau atau Raja Dodung.
Raja Kokini atau Basalo Tano Bonunungan.
Ketika empat raja yang menjadi Basalo
Sangkap itu mangkat, posisi mereka digantikan oleh keturunannya atau
setidak-tidaknya oleh orang yang memiliki hubungan keluarga dengan
mereka. Sampai saat ini keturunan dari Basalo Sangkap itu masih dapat
kita temui.
Selain Basalo Sangkep, Raja juga dibantu
oleh “komisi empat” yang diangkat secara langsung oleh raja yang sedang
berkuasa dengan persetujuan Basalo Sangkap, yang terdiri dari:
Mayor Ngopa atau Raja Muda
Kapitan Laut Kepala Angkatan Perang
Jogugu atau Mentri Dalam Negeri
Hukum Tua atau Pengadilan
Kapitan Laut Kepala Angkatan Perang
Jogugu atau Mentri Dalam Negeri
Hukum Tua atau Pengadilan
Komisi empat juga mempunyai wilayah
kekuasaan yang dipegang mereka dan masing-masing mempunyai staf inti
yang dipilih dan diangkat langsung oleh raja dengan persetujuan Basalo
Sangkap seperti : Jogugu yang memegang kekuasaan di Banggai dan Labobo
Bangkurung dan sekitarnya, mempunyai staf Kapitan, Kapitan Lonas,
Kapitan Kota. Mayor Ngopa yang berwenang di Teluk Tomini memiliki staf
seperti Letnan Ngofa, Kaputan Prang, dan Letnan Dua. Kapitan laut
mempunyai wilayah kekuasaan Dari Batui sampai ke Balantak mempunyai Staf
Syah Bandar, Bea Cukai. Hukum Tua yang memiliki cakupan kekuasaan di
Seluruh Peling mempunyai Staf Mahkamah dan Pengadilan.
Selain dari komisi empat tersebut, raja
juga mempunyai staf pribadi untuk urusan pemerintahan dan rumah tangga
istana, seperti untuk bagian pemerintahan raja dibantu oleh Gimlaha
Sadeha-Saseba, Panebela Bayu, Mian Tu Liang, Mian Tu Baasaan, Panebela
Tololak, Mian Tu Palabatu. Untuk urusan Rumah Tangga dibantu oleh Genti
dan Jeufana.
Sehubungan dengan struktur pemerintahan
tersebut di atas, di bidang agama Islam pun giat di pelajari dan
disebarluaskan. Pada masa Maulana Prins Mandapar memerintah di kerajaan
Banggai ia di dampingi oleh seorang ulama sekretarisnya yang bernama
“Tengku Hasan Alam” yang biasanya orang-orang kerajaan Banggai menamakan
beliau “Tanduwalang”. Oleh sekretarisnya “Tengku Hasan Alam” sehingga
agama tersebut dianut oleh masyarakat, teristimewa masyarakat pantai
sehingga pemerintahan pun bersemboyan “Adat bersendi syara, Syara
Bersendi Adat” yang menandakan budaya rakyat Banggai yang sopan santun,
berbudi luhur, ramah tamah, dan bersahaja.
Adapun yang mengepalai urusan agama Islam
disebut “kale” atau “gadhi”. kale atau Gandi ini dibantu oleh beberapa
iman diantaranya: Iman Sohi, Iman Tano Bonunungan, Iman Dodung, Iman
Gong-gong dan Imam Monsongan. Iman dibantu oleh beberapa Hatibi atau
Khatib. Dan Khatib-khatib ini juga dibantu oleh bebrapa Mojim Muazzim.
Silsilah raja raja Banggai
Pada awal abad ke-16 empat kerajaan
(Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean) dikuasai Kesultanan
Ternate. Adi Cokro (Mbumbu Doi Jawa), seorang Pangeran dari kerajaan
Demak yang juga merupakan panglima Perang Kesultanan Ternate, pada tahun
1530 M kemudian menyatukan empat kerajaan itu menjadi satu kerajaan,
yaitu Kerajaan Banggai yang beribukota di Pulau Banggai. Adi Cokro
inilah yang dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai dan tokoh yang
menyebarkan Islam di wilayah tersebut. Masyarakat Banggai juga mengenal
seorang tokoh bernama Adi Soko, apakah tokoh ini sama dengan Adi Cokro?
Dari fonologi dan atau juga fonetik memang cukup mirip.
Moh. Yamin (1972) dalam “Gajah Mada”
menyebut tokoh Adi Cokro ini sebagai Raden Cokro yang merupakan
keponakan Dipati Unus. Raden Cokro mendapat perintah ke Ternate untuk
tujuan membantu Sultan ternate mengembangkan Islam serta memperkuat
pasukan armada Ternate dari serangan Portugis. Sedangkan Albert C. Kruyt
dalam bukunya De Vorsten Van Banggai ( Raja-raja Banggai) secara
terang-terangan mengatakan bahwa Adi Cokro adalah orang yang menaklukan
Pulau Banggai, Peling dan Daratan Timur Sulawesi. Adi Cokro kemudian
mempersunting seorang wanita asal Ternate berdarah Portugis bernama
Kastellia (Kastella). Perkawinan Adi dengan Kastellia melahirkan putra
bernama Mandapar yang kemudian menjadi Raja Banggai. Istilah ” Adi”
merupakan gelar bangsawan bagi raja-raja Banggai, hal tersebut sama
dengan gelar RM (Raden Mas) untuk bangsawan Jawa atau Andi bagi
bangsawan bugis.
Dalam Babad Banggai Sepintas Kilas
dikatakan, sebelum Kerajaan Banggai berdiri, empat kerajaan ini selalu
berselisih. Masing-masing ingin menguasai yang lain, saling
bersitegang. Namun, persaingan tersebut tidak sampai pada peperangan,
melainkan hanya adu kesaktian raja masing-masing. Mungkin karena selalu
berselisih, maka empat kerajaan tersebut jatuh ke dalam kekuasaan
Kesultanan Temate, sekitar abad ke-16. Setelah Adi Cokro menyatukan
keempat kerajaan itu, ia kembali ke Jawa. Basalo Sangkap lalu memilih
Abu Kasim, putra Adi Cokro hasil perkawinan dengan Nurussapa, putri
Raja Singgolok, menjadi Raja Banggai. Namun, sebelum dilantik, Abu
Kasim dibunuh bajak laut. Basalo Sangkap pun memilih Maulana Prins
Mandapar.
Maulana Prins Mandapar, anak Adi Cokro
yang lain, hasil perkawinannya dengan seorang putri Portugis. Basalo
Sangkap ini pula yang melantik Mandapar menjadi raja pertama Banggai
yang berkuasa mulai tahun 1600 sampai 1625. Menurut Machmud, Raja
Mandapar berkuasa sejak tahun 1571 sampai tahun 1601.
Pelantikan Mandapar dan raja-raja
setelahnya konon dilakukan di atas sebuah batu yang dipahat menyerupai
tempat duduk. Sampai saat ini batu tersebut masih ada di Kota Tua
Banggai Lalongo, sekitar 5 km dari Kota Banggai.
Setelah masa kekuasaan Raja Mandapar
berakhir, raja-raja Banggai berikutnya berusaha melepaskan diri dari
Kesultanan Ternate. Mereka menolak bekerja sama dengan Belanda, yang
pada 1602 sudah menginjakkan kaki di Banggai. Upaya melepaskan diri
dari kekuasaan Ternate ini mengakibatkan sejumlah raja Banggai
ditangkap lalu dibuang ke Maluku Utara.
Perlawanan paling gigih terjadi pada
masa pemerintahan raja Banggai ke-10 yang bergelar Mumbu Doi Bugis. Pada
masanya meletuslah Perang Tobelo.
Raja- raja yang Memerintah di Kerajaan Banggai dapat diuraikan sebagai berikut :
Maulana Prins Mandapar/Mumbu doi Godong (1571-1601 M)
Mumbu doi Kintom (1602-1630 M)
Mumbu doi Benteng (1630-1650M)
Mumbu doi Balantak Mulang (1650-1689 M)
Mumbu doi Kota (1690-1705 M)
Mumbu doi Bacan / Abu Kasim (1705- 1749M)
Mumbu doi Mendono (1749-1753 M)
Mumbu doi Pedongko (1754-1763 M)
Mumbu doi Dinadat Raja Mandaria (1763-1808 M)
Mumbu doi Galela Raja Atondeng (1808-1815 M)
Mumbu Tenebak Raja Laota (1815-1831 M)
Mumbu doi Pawu Raja Taja (1831-1847 M)
Mumbu doi Bugis Raja Agama (1847-1852 M)
Mumbu doi Jere Raja Tatu Tanga (1852-1858 M)
Raja Saok (1858-1870 M)
Raja Nurdin (1872-1880)
Raja H. Abdul Azis (1880-1900)
Raja H. Abdurracman (1901-1922 M)
Haji Awaludin (1925-1940 M)
Raja Nurdin Daud (1940-1949 M))
Raja H. Syukuran Aminuddin Amir (1941-1957 M)
Mumbu doi Kintom (1602-1630 M)
Mumbu doi Benteng (1630-1650M)
Mumbu doi Balantak Mulang (1650-1689 M)
Mumbu doi Kota (1690-1705 M)
Mumbu doi Bacan / Abu Kasim (1705- 1749M)
Mumbu doi Mendono (1749-1753 M)
Mumbu doi Pedongko (1754-1763 M)
Mumbu doi Dinadat Raja Mandaria (1763-1808 M)
Mumbu doi Galela Raja Atondeng (1808-1815 M)
Mumbu Tenebak Raja Laota (1815-1831 M)
Mumbu doi Pawu Raja Taja (1831-1847 M)
Mumbu doi Bugis Raja Agama (1847-1852 M)
Mumbu doi Jere Raja Tatu Tanga (1852-1858 M)
Raja Saok (1858-1870 M)
Raja Nurdin (1872-1880)
Raja H. Abdul Azis (1880-1900)
Raja H. Abdurracman (1901-1922 M)
Haji Awaludin (1925-1940 M)
Raja Nurdin Daud (1940-1949 M))
Raja H. Syukuran Aminuddin Amir (1941-1957 M)
Hingga 1957 raja-raja Banggai berjumlah
21 orang. Jika dinilai tidak mampu memimpin, raja-rajanya dapat
diberhentikan oleh Basalo sangkap. Pada waktu raja Awaludin wafat pada
akhir tahun 1940, sudah menjadi aturan atau adat, bahwa sebelum raja di
makamkan, sudah harus ada penggantinya maka Basalo Sangkap mengangkat
Nuridun Daud yang waktu itu masih anak-anak dan masih berumur 10 tahun.
Pengangkatan dan pelantikan tersebut disaksikan oleh tuan Asisten
Residen Posso yang kebetulan ada di Banggai untuk menghadiri rapat kerja
kerajaan Banggai. Pada tanggal 1 Maret 1941 ditunjuklah Syukuran
Aminuddin Amir yang saat itu menjadi Mayor Ngofa menjadi “Raja”.
Abdul Bary dalam artikelnya yang berjudul
“Meluruskan Sejarah Banggai” mengulas mengenai status dan posisi
Syukuran Aminudin Amir dalam sejarah Kerajaan Banggai yang menurutnya
bukanlah Tomundo yang “terlegitimasi” secara sah oleh tata aturan hukum
kerajaan Banggai, melainkan hanya sekedar sebagai pelaksana tugas harian
dari Tomundo Banggai Nurdin Daud yang masih muda. Syukuran Aminudin
Amir ini tercatat sebagai Tomundo karena ia kemudian mengukuhkan diri
sebagai Tomundo meskipun tanpa restu dan tidak melalui pengukuhan oleh
Basalo Sangkap sebagaimana “ketentuan adat” kerajaan Banggai.
Berakhirnya Kerajaan Banggai.
Kerajaan Banggai berada dibawah kekuasaan
Bangsa Portugis setelah Ternate jatuh ke tangan Portugis. Bukti adanya
pengaruh Portugis di kerajaan Banggai setidaknya dapat dilihat dengan
ditemukannya sisa-sisa peninggalan Bangsa Portugis di daerah ini di
antaranya meriam kuno atau benda peninggalan lainnya.
Nuansa Portugis yang ditularkan oleh
Kesultanan Ternate dan selama ini cukup kental di Kerajaan Banggai pun
mulai melemah seiring pengaruh Belanda yang kian kuat. Menurut kesaksian
seorang pelaut berkebangsaan Inggris bernama David Niddeleton yang
pernah dua kali datang ke Banggai, pengaruh VOC di Banggai sudah ada
sejak masa pemerintahan raja pertama kerajaan Banggai Maulana Prins
Mandapar.
Bangsa Belanda datang ke Banggai pada
tahun 1630 pada saat itu di kerajaan Banggai raja yang berkuasa yaitu
raja Doi Benteng, dan rakyat mengira kedatangan Belanda merupakan niat
baik dan punya tujuan untuk membantu rakyat Banggai yang pada saat itu
masih di kuasai oleh kesultanan Ternate. Nyatanya Belanda pula menjajah
Banggai dan mengambil semua hak dagang yang di peroleh oleh masyarakat
Banggai. Lama-lama kelamaan Belanda juga menjadi penguasa di kerajaan
Banggai serta membagi-membagi daerah kekuasaan di tanah Banggai menjadi
Banggai Darat dan Banggai Kepulauan.
Setelah Kerajaan Ternate dapat ditaklukan
dan direbut oleh Sultan Alaudin dari Kerajaan Gowa (Sulawesi Selatan)
maka Banggai ikut menjadi bagian dari Kerajaan Gowa. Dalam sejarah
tercatat Kerajaan Gowa sempat berkembang dan mempunyai pengaruh yang
sangat besar dan kuat di Indonesia Timur.
Kerajaan Banggai berada di bawah
pemerintahan Kerajaan Gowa berlangsung sejak tahun 1625-1667. Pada tahun
1667 dilakukan perjanjian Bongaya yang sangat terkenal antara Sultan
Hasanuddin dari Kerajaan Gowa melepaskan semua wilayah yang tadinya
masuka dalam kekuasaan Kerajaan Ternate seperti Selayar, Muna, Manado,
Banggai, Gapi (Pulau Peling), Kaidipan, Buol Toli-Toli, Dampelas,
Balaesang, Silensak dan kaili.
Pada saat Sultan Hasanuddin dikenal
sebagai raja yang sengit melawan Belanda. Bentuk perjuangan yang
dilakukan Hasanuddin ternyata memberikan pengaruh tersendiri bagi Raja
Banggai ke-4, yakni Raja Mbulang dengan gelar Mumbu Doi Balantak (
1681-1689 ) hingga Mbulang memberontak terhadap Belanda. Sebenarnya
Mbulang Doi Balantak menolak untuk berkongsi dengan VOC lantaran
monopoli dagang yang terapkan Belanda hanya menguntungkan Belanda,
sementara rakyatnya di posisi merugi. Tapi apa hendak dikata, karena
desakan Sultan Ternate yang menjadikan Kerajaan Banggai sebagai bagian
dari taklukannya, dengan terpaksa Mbulang Doi Balantak tidak dapat
menghindar dari perjanjian yang dibuat VOC (Belanda).
Tahun 1741 tepatnya tangga l 9 November
perjanjian antara VOC dengan Mbulang Doi Balantak diperbarui oleh Raja
Abu Kasim yang bergelar Mumbu Doi Bacan. Meski perjanjian telah
diperbaharui oleh Abu Kasim, tetapi secara sembunyi-sembunyi Abu Kasim
menjalin perjanjian kerjasama baru dengan Raja Bungku. Itu dilakukan Abu
Kasim dengan target ingin melepaskan diri dari Kerajaan Ternate.
Langkah yang ditempuh Abu Kasim ini dilakukan karena melihat beban yang
dipikul oleh rakyat Banggai sudah sangat berat karena selalu dirugikan
oleh VOC. Tahu raja Abu Kasim menjalin kerjasama dengan Raja Bungku,
akhirnya VOC jadi berang (marah). Abu Kasim lantas ditagkap dan dibuang
ke Pulau Bacan (Maluku Utara), hingga akhirnya meninggal disana.
Usaha Raja-raja Banggai untuk melepaskan
diri dari belenggu Kerajaan Ternate berulang kali dilakukan dan kejadian
serupa dilakukan Raja Banggai ke-9 bernama Antondeng yang bergelar
Mumbu Doi Galela (1808 – 1829). Serupa dengan Raja-raja Banggai
sebelumnya, Antondeng juga melakukan perlawanan kepada Kesultanan
Ternate. Sebenarnya perlawanan Anondeng ditujukan kepada VOC (Belanda).
Karena Antondeng menilai perjanjian yang disebut selama ini hanya
menguntungkan Hindia Belanda dan menjepit rakyatnya. Karena itulah
Antondeng berontak. Karena perlawanan kurang seimbang, Antondeng
kemudian ditangkap dan dibuang ke Galela (Pulau Halmahera).
Setelah Antondeng dibuang ke Halmahera,
Kerajaan Banggai kemudian dipimpin Raja Agama, bergelar Mumbu Doi Bugis.
Memerintah tahun 1829 – 1847. Raja Agama sempat melakukan perlawanan
yang sangat heroik dalam perang Tobelo yang sangat terkenal. Tetapi
Kerajaan ternate didukung armada laut yang modern, akhirnya mereka
berhasil mematahkan perlawanan Raja Agama. Pusat perlawanan Raja Agama
dilakukan dari Kota Tua – Banggai (Lalongo). Dalam perang Tobelo, Raja
Agama sempat dikepung secara rapat oleh musuh. Berkat bantuan rakyat
yang sangat mencintainya, Raja Agama dapat diloloskan dan diungsikan ke
wilayah Bone Sulawesi Selatan, sampai akhirnya wafat di sana tahun 1874.
Setelah Raja Agama hijrah ke Bone,
munculah dua bersaudara Lauta dan Taja. Kepemimpinan Raja Lauta dan Raja
Taja tidak berlangsung lama. Meski hanya sebentar memimpin tetapi
keduanya sempat melakukan perlawanan, hingga akhirnya Raja Lauta dibuang
ke Halmahera sedang Raja Taja diasingkan ke Pulau Bacan, Maluku Utara.
Mulai abad ke 17, wilayah Sulawesi Tengah
mulai masuk dalam kekuasaan kolonial Belanda. Dengan dalih untuk
mengamankan armada kapalnya dari serangan bajak laut, VOC membangun
benteng di Parigi dan Lambunu. Pada abad ke 18, meningkatkan tekanannya
pada raja-raja di Sulawesi Tengah. Mereka memanggil raja-raja Sulawesi
Tengah untuk datang ke Manado dan Gorontalo untuk mengucapkan sumpah
setia kepada VOC. Dengan begitu, VOC berarti telah menguasai
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah tersebut.
Permulaan abad ke 20, dengan diikat suatu
perjanjian bernama lang contract dan korte verklaring, Belanda telah
sepenuhnya menguasai Sulawesi Tengah, terhadap kerajaan yang
membangkang, Belanda menumpasnya dengan kekerasan senjata.
Meskipun telah melakukan gempuran,
Belanda tidak sempat berkuasa kembali di Sulawesi Tengah karena pada
waktu itu, Jepang mendarat di wilayah itu, tepatnya di Luwuk tanggal 15
Mei 1942. dalam waktu singkat Jepang berhasil menguasai wilayah Sulawesi
Tengah. Keadaan ini berlangsung sampai Jepang menyerah kepada Sekutu
dan disusul dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Secara De Jure kerajaan Banggai berakhir
pada tahun 1952 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 33 tahun
1952, tanggal 12 Agustus 1952 Tentang Penghapusan Daerah Otonom Federasi
Kerajaan Banggai. Pada tanggal 4 Juli 1959, wilayah kekuasaan Kerajaan
Banggai resmi menjadi Daerah Swantara (setingkat kabupaten)
berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah
Tingkat II di Sulawesi, wilayah onderafdeling Banggai yang meliputi
seluruh bekas wilayah Swapraja Banggai sebagai bagian dari daerah
afdeling Poso, dinyatakan berdiri sendiri sebagai daerah swatantra
tingkat II, dengan nama “Daerah Tingkat II Banggai” dengan kedudukan
pemerintahan berada di Luwuk. Adapun sisa peninggalan Kerajaan Banggai
masih dapat ditemui hingga saat ini yaitu Keraton Kerajaan Banggai yang
ada di Kota Banggai dan beberapa peninggalan lainnya yang tersebar di
Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi
Tengah.
Sumber Rujukan:
Haryanto Djalumang. 2012. Sejarah Kabupaten Banggai. Luwuk, Yayasan LP3M Insan Cita.
Muh. Syarif A. Uda’a. 2008. Sekilas Tentang Kerajaan Banggai. Penerbit Lembaga Tinggi Adat Banggai.
Machmud Hk. 1986. Babad Banggai Sepintas Kilas, Jakarta, Banggai Agustus
Padeatu. H.S. 2005. Sepintas Kilas Sejarah Banggai. Jakarta: Grafindo Persada.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho
Notosusanto. (2008). Sejarah Nasional Indonesia jilid II dan III .
Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs. M.C. 2001. Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Slamet Mulyano 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
Sartono Kartodirjo,1993. Sejarah
Pergerakan Nasional, dari Kolonialismee Sampai Nasionalisme, Jilid 2. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. H. 8-9.
Yalida, Abdu. 2012. Peralihan Birokrasi
Tradisional ke Kolonial Belanda di Kabupaten Banggai. Skripsi Jurusan
Sejarah Fakultal Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo. Tidak
diterbitkan.
Barry, Abdul. F.B. Meluruskan sejarah Banggai http://fathanisme.blogspot.com/2013/01/meluruskan-sejarah-banggai_30.html diakses 2014
Kompas. Menelusuri Jejak Kerajaan Banggai. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0705/07/tanahair/3504892.htm diakses 2009
Iswara N. Raditya, Kerajaan Banggai. http://melayuonline.com/ind/history/dig/505/kerajaan-banggai. Diakses 2013
Iwan Tou Bua, “Sejarah Kabupaten Banggai Kepulauan”, dalam http://infokom-sulteng.go.id, data diunduh pada tanggal 4 Oktober 2010.
________. Perempuan Penjaga Warisan Pusaka Kerajaan Banggai. http://www.langitperempuan.com/2009/02/perempuan-penjaga-warisan-pusaka-kerajaan-banggai/ diakses 2009
_________, Sejarah Singkat Kabupaten Banggai. http://www.ptbss.com/ss2.htm diakses 2013
_________, Sejarah Singkat Sulawesi Selatan. https://putraramasejati.wordpress.com/sejarah-singkat-propinsi-sulawesi-tengah/ diakses 2014
_________, Sejarah Terbuntuknya Kabupaten Banggai. http://banggaikab.go.id/halaman/1/sejarah diakses 2014
________, Sejarah Kabupaten Banggai: Hasil survei Kepustakaan dan Seminar https://p3bbabasal.wordpress.com/2013/02/02/sejarah-kabupaten-banggai/ diakses 2014
Sumber : http://www.wacananusanta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar